Memfalsafati perlindungan tanaman sesungguhnya merupakan sebuah upaya untuk menemukan titik kompromi dalam menanggapi kesenjangan antara kerusakan ekosistem dengan sisi pemenuhan ekonomi masyarakat. Terkhusus dalam hal serangan hama dan penyakit tanaman yang sampai saat ini masih menjadi salah-satu problem yang sulit terpecahkan.
Menurut sejarah, pada mulanya perlindungan tanaman itu dipraktekkan secara individual, atau belum terkoordinasi dan menggunakan cara-cara yang tradisional. Hingga pada tahun 1881, perlindungan tanaman mulai terkoordinasi, disebabkan oleh serangan Phylloxera vitivolia pada tanaman anggur di California. Terlebih pada tahun 1945 didirikan FAO (Food and Agriculture Organization) yang pada akhirnya menjadi dasar kuat untuk pengembangan perlindungan tanaman (Kasumbogo Untung, 2007).
Sejarah mencatat, kelemahan perlindungan tanaman dimasa lalu yang begitu menunjukkan banyak dampak negatif penggunaan pestisida sintetik di kawasan pertanian Amerika Serikat, Karena paradigma yang berkembang di masa itu yang masih menganggap serangga (hama) harus dimusnahkan.
Berangkat dari kesadaran dari dampak negatif yang ditimbulkan, mulailah bermunculan upaya-upaya pengendalian yang lebih memperhatikan aspek ekologi dan pendekatan ambang ekonomi. Inilah yang saat ini dikenal sebagai Pengeloaan Hama Terpadu (PHT), dimana paradigma yang awalnya menganggap serangga (hama) itu harus dimusnahkan atau diberantas, kini dengan paradigma baru, serangga (hama) mesti dikelola dan dijaga jumlahnya agar tetap seimbang di pertanaman. Tidak boleh lantas dimusnahkan secara keseluruhan.
Sehingga dapat dikatakan bahwa upaya perlindungan tanaman dengan mengedepankan pendekatan ekologi yang mengusung konsep pertanian berkelanjutan adalah upaya pengambilan peran oleh perlindungan tanaman dalam menjaga ekosistem. Serta merupakan salah satu wujud praktik ekofeminisme yang senantiasa berusaha mewujudkan keadilan pada tiap-tiap makhluk di alam semesta.
Namun tentu kita tidak boleh menutup mata, dibalik gagasan yang mendukung keberlangsungan ekologi melalui Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) ini, masyarkata kita khususnya petani di indonesia, masih banyak kemudian ditemukan kasus penggunaan pestisida sintetik yang berlebihan tanpa mementingkan dosis dan teknik pengendalian yang lain.
Hal ini tentu bukanlah murni kesalahan petani, dan merupakan tanggung jawab bersama. dalam catatan sejarah, ini adalah dampak dari sisa-sisa reruntuhan paradigma yang lama. Dimana pada masa orde baru, upaya perluasan pertanian atau biasa disebut program intensifikasi pada akhirnya menyebabkan ketergantungan para petani kepada penggunaan pestisida sintetik. Imbas dari hasrat untuk mewujudkan swasembada dengan cara apapun.
Sehingga di masa sekarang ini, kita dalam upaya mewujudkan konsep perlindungan tanaman yang diharapkan, mesti mewujudkan gerak-gerak kolektif, serta kerja-kerja kolaboratif dari berbagai stakeholder agar tercipta sebuah atmosfer pertanian berkelanjutan yang di harapkan.Karena bagaimanapun, permasalahan pertanian lebih spesifik dalam hal perlindungan tanaman, dalam penguatannya sangat dipengaruhi oleh aspek hukum (kebijakan), ekonomi, sosial, bahkan politik.
Mari wujudkan sebuah tatanan masyarakat tani yang memiliki integritas akan kesadaran ber-Semesta. Bahwa perlindungan tanaman adalah satu dari banyak kebaikan dalam upaya merawat alam. Mengizinkan alam untuk menumbuh secarara alami serta turut menjaga dan mengawal alam semesta pada jalurnya menuju kehancurannya yang baik.
Untung Kasumbogo, 2007. Kebijakan Perlindungan Tanaman. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H