Merdeka ! Merdeka ! Merdeka !
Satu kata yang diucapkan dengan penuh semangat disaat tanggal 17 Agustus di setiap tahunnya oleh para pemimpin instansi pemerintahan, organisasi maupun pendidikan di halaman gedung masing-masing ketika menyampaikan pidato upacara memperingati Hari Kemerdekaan Bangsa Indonesia.Â
Bukan hanya bagi mereka yang bekerja di instansi saja yang terus dikomando pimpinan untuk mengucapkan kata merdeka dengan lantang, para generasi muda bangsa ini pun dengan sendirinya memiliki inisiatif untuk mengungkapkan dan mengekspresikan kata-kata memperingati kemerdekaan bangsa ini berupa tulisan dan foto yang bertebaran di media sosial masing-masing. Sungguh satu hal yang patut disyukuri bahwa hingga saat ini masih banyak masyarakat Indonesia yang memperingati hari kemerdekaan bangsanya sendiri di tengah polemik politik yang berkecamuk, problematika kemiskinan yang belum teratasi, permasalahan moral yang kian tak terbendung dan terpaan imbas akulturasi yang semakin kencang.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata "Merdeka" memiliki arti "bebas dari perhambaan, penjajahan dsb". Mengingat dari arti kata tersebut, apakah kita benar-benar sudah merdeka ? Merdeka dalam berbagai sektor ? Mandiri dalam berbagai sektor ? Ataukah kita mengucapkan kata merdeka hanya sebagai sebuah kata dan bukan sebagai sebuah makna ?.
Butuh kita renungkan kembali, apakah selama 72 tahun ini kita benar-benar sudah merdeka dari berbagai macam praktik perhambaan dan penjajahan ?. Praktik tersebut tidak hanya terjadi saat para penjajah datang silih berganti menguasai tanah moyang kita. Di zaman serba modern pun masih banyak praktik-praktik penjajahan melalui sektor perekonomian seperti pertanian, peternakan, pertambangan, industri manufaktur dan transportasi. Mungkin beberapa contoh bahwa bangsa kita masih terjajah seperti di sektor pertambangan. Tak ada habisnya surat kabar memberikan berita tentang pihak luar yang ingin membuka, mempertahankan bahkan memperpanjang kontrak penggalianya. Tak sedikit pula jumlah impor kita terhadap barang pangan padahal negeri kita ini terkenal subur dan mahsyur dalam menghasilkan hasil bumi.
Dari semua hal yang terjadi, kita selalu bertanya-tanya, apa sebenarnya akar permasalahannya ?. Sedikit menoleh kebelakang, bangsa ini berdiri bukan tanpa tujuan. Bangsa ini berdiri selama 72 tahun dengan memiliki tujuan dan nilai-nilai luhur yang terus dipertahankan dalam pembukaan UUD 1945 terutama pada alinea ke 4 yang berbunyi :
"Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial".
Terdapat kalimat "mencerdaskan kehidupan bangsa"yang mana memiliki arti yang sangat luas dan dalam, bukan hanya mencerdaskan, memberi ilmu kepada generasi muda, namun lebih tepatnya menyiapkan generasi yang berkualitas dan tangguh demi mewujudkan Indonesia yang benar-benar merdeka, merdeka dalam berbagai sektor, mampu menguasi dan mengolah tanah leluhurnya untuk keadilan sosial bersama. Bukan hanya menjadi buruh atau penonton di negeri sendiri. Lantas dari manakah kita bisa membenahi dan mewujudkan tujuan mulia tersebut ?
Nelson Mandela (Presiden Afrika Selatan -- Pejuang Anti Apartheid) pernah berkata "Pendidikan adalah senjata paling ampuh yang dapat anda gunakan untuk mengubah dunia". Sehingga pendidikan merupakan bagian yang tak terpisahkan bagi kemajuan bangsa Indonesia untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan bangsa. Dalam pratiknya dari awal bangsa ini berdiri hingga sekarang, sudah berkali-kali kebijakan pendidikan kita berganti, dirubah sesuai kepentingan para pemimpin.
ORDE LAMA
Di era awal kemerdekaan, Bung Karno menetapkan sebuah sistem pendidikan yang berfokus pada pendidikan karakter dan peningkatan mutu sumber daya manusia. Yang mana lebih ditekankan pada nilai-nilai pancasila ketimbang mewarisi asas hukum pendidikan warisan Belanda serta pengenalan pengetahuan akademik untuk jenjang SD. Â Kurikulum yang diusung oleh Bung Karno pun lebih mengaitkan pelajaran dengan kondisi faktual dilapangan. Setidaknya ada 3 produk kurikulum di era Bung Karno yakni kurikulum 1947, 1952 dan 1964. Tak lama kemudian pergolakan berdarah di negeri inipun terjadi, mau tidak mau era Soekarno pun berakhir begitu pun juga sistem pendidikannya.
ORDE BARU
Setelah tongkat estafet kepemimpinan diberikan kepada Soeharto negeri inipun dilanda perubahan sistem politk, ekonomi dan sosial sehingga mau tidak mau hal tersebut berdampak pada sistem pendidikan. Dan dengan diterapkannya UU No. 1 Tahun 1976 tentang penanaman modal asing yang berimbas pada perubahan sistem pendidikan yang menekankan pemerataan, mutu, relevansi dan efisiensi pendidikan. Serta adanya wacana pada tahun 1990-an oleh Mentri Pendidikan dan kebudayaan yang saat itu menjabat yakni Wardiman Djojonegoro yang  menginginkan sistem pendidikan dilempar ke mekanisme pasar. Sudah sangat jelas bahwa praktik pendidikan yang saat itu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pasar. Hasil dari sistem pendidikan ini adalah mengutamakan hasil dan iming-iming besar terhadap sebuah pekerjaan ketimbang proses pendidikan itu sendiri.
Produk sistem pendidikan tersebut menghasilkan beberapa kurikulum diantaranya kurikulum 1968, 1975, 1984. Yang mana dari setiap masing-masing kurikulum memiliki tujuan untuk meningkatkan kecerdasan siswa dengan menjejalkan teori-teori tanpa mengaitkan fakta yang ada di lapangan.
Pendidikan di zaman Soeharto pun memiliki ciri sentralistik dan militeristik yang mana memiliki tujuan untuk mengurangi pergolakan yang dilakukan mahasiswa yang menentang rezim karena penerapan kebijakan modal asing. Serta mengeluarkan peraturan kepada masing-masing kampus berupa NKK/BKK untuk mempersempit ruang gerak mahasiswa untuk beropini tentang rezim yang memimpin. Namun lagi-lagi sistem pendidikan tersebut harus berakhir dengan ditandai runtuhnya rezim Soeharto.
Perlu direnungkan kembali bahwa sistem pendidikan yang diterapkan oleh Soeharto pun kembali lagi pada warisan pendidikan zaman kolonial yang mana pendidikan sebagai alat untuk tunduk kepada penguasa dan di didik sebagai tenaga kerja yang siap pakai. Yang mana sistem pendidikan ini yang terus-menerus secara tidak langsung dipraktikan dipendidikan zaman modern ini. Â
REFORMASI
Era Soeharto memang berakhir namun masalah pendidikan masih menimbulkan masalah bagi rezim-rezim berikutnya. Berkali-kali sistem pendidikan diperbaiki melalui peraturan yang dibuat oleh pemerintah terutama mengenai status dari perguruan tinggi menjadi badan hukum yang mana hal tersebut mencederai konstitusi dasar negara yakni UUD 1945 yang mana pendidikan menjadi kewajiban negara sebagai penyelenggara malah dengan peraturan tersebut masyarakatlah yang dibebankan untuk menyelenggarakan pendidikan dan negara lepas tangan akan hal tersebut, Pada akhirnya keputusan tersebut tetap disahkan oleh pemerintah dan mulai dijalankan saat ini.
Begitupun produk kurikulum yang dihasilkan seperti kurikulum 2004 dan 2006 yang mana tidak jauh berbeda dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya yang menguatkan teori dalam pembelajarannya walaupun terkadang terdapat praktik penerapan di dalamnya. Sedikit pembahuruan terjadi pada produk kurikulm 2013 yang mana menerapkan aspek pengetahuan, ketrampilan dan perilaku. Bisa dikatakan seperti kembali pada kurikulum era Soekarno namun dalam pelaksanaannya masih banyak terjadi pro dan kontra dari masyarakat.
Pemerintah tak kenal lelah dalam memperbarui sistem pendidikan di negeri ini. Baru-baru ini sang pemangku kebijakan mengeluarkan sebuah wacana sistem "Full Day School"yang memiliki tujuan sebagai kontroling siswa agar tidak terjerumus ke dalam kegiatan negatif dan berujung pada penyimpangan moral. Patut diparesiasi namun untuk melaksanakan wacana tersebut juga harus perlu analisa dan kajian yang menyeluruh serta komperhensif agar hasil yang dicapai sesuai dengan tujuan dan cita-cita bangsa.
MERDEKA BUTUH KESADARAN
Mungkin bagi para pemimpin sangatlah muda mengotak-atik sebuah kebijakan yang menentukan masa depan bangsa, namun kita juga bukanlah boneka yang bisa dibuat mainan sesuka hati demi sebuah kepentingan yang bukan tujuan mulia bangsa ini. Ini bukanlah tanggung jawab segilintir orang yang memangku jabatan, melainkan kewajiban kita semua warga negara Indonesia untuk terus saling berbenah, belajar dan mengingatkan terhadap sesama demi tujuan mulia bangsa yakni "Mencerdaskan Kehidupan Bangsa" untuk mewujudkan Indonesia yang benar-benar merdeka dan mandiri di berbagai sektor.
Sudah terlalu lama kita membiarkan sistem pendidikan ini bergerak ke arah yang tidak jelas. Sudah waktunya kembali untuk membangun pilar pendidikan yang sesuai tujuan bangsa kita, mencerdaskan kehidupan bangsa demi tercapainya Indonesia yang merdeka, merdeka atas kemandirian bangsa. Tak penting apa profesi kita, suku kita, agama kita, yang terpenting adalah kita terus untuk selalu mengingatkan, memberi dukungan dan berusaha tanpa kenal agar kelak terciptanya pendidikan yang sesuai dengan tujuan bangsa kita apalagi di zaman yang serba sulit ini. Mungkin kita tidak bisa merasakan dari hasil apa yang kita usahakan, namun anak cucu kitalah yang akan merasakannya. Merasakan terwujudnya cita-cita bangsa ini.
"Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu, tapi apa yang sudah kamu berikan pada negara !".John F. Kennedy (Presiden Amerika Serikat)
Sudah saatnya bangun wahai generasi muda, generasi penerus bangsa, generasi pewaris tanah para pahlawan. Sesulit apapun itulah tanggung jawab kita bersama sebagai warga negara.
Selamat ulang tahun negeri yang ku cinta, Indonesia.
Merdeka ! Merdeka ! Merdeka !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H