Dengan term PSC semacam itu, investor juga terdorong untuk mau melakukan eksplorasi mencari sumur-sumur minyak baru. Eksplorasi sudah menjadi barang mahal di Indonesia. Tanpa eksplorasi tak akan ada sumur minyak baru. Kita tentu tak boleh terlena dengan sumur minyak yang sudah ada yang kian menua.
Adapun terhadap ladang migas yang sudah akan habis masa kontraknya, perlu dipikirkan adanya aturan yang dapat memberikan kepastian tentang perpanjangan kontrak, jauh sebelum kontrak berakhir. Â Kepastian ini penting untuk memacu investor hulu migas tetap berinvestasi.
Kepastian ini juga akan sangat terbantu dengan makin mudah dan cepatnya waktu perizinan. Selama ini. Akhir tahun lalu SKK Migas menunjukkan bahwa total ada 341 izin yang harus diurus KKKS Migas untuk bisa melaksanakan kegiatan operasi. Izin tersebut dibutuhkan untuk lima fase kegiatan, yakni survei awal, eksplorasi, pengembangan, produksi, dan pasca produksi. Proses pengurusan perizinan tersebar di 17 instansi, baik instansi pemerintah maupun swasta.
Kontraktor juga dihadapkan pada permasalahan waktu yang dibutuhkan untuk mengurus izin. Dari seluruh izin yang ada, proses pengurusan perizinan membutuhkan waktu bervariasi, mulai dari 3 hari kerja hingga 2 tahun. Lamanya perizinan membuat rencana kegiatan operasi tidak bisa segera dilaksanakan.
Langkah yang ditempuh Kementerian ESDM dengan mengurangi jumlah perizinan hulu migas dari 104 menjadi 42 izin, patut diapresiasi dan diikuti oleh instansi lainnya. Kementerian ESDM juga telah menyerahkan perizinan ke Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Seluruh izin hulu migas yang dulunya harus melalui proses di Kementerian ESDM kini bisa diurus di Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Pusat dl BKPM. Reformasi perizinan ini tentu menjadi dambaan investor hulu migas. Â
Reformasi berikutnya adalah perlunya SKK Migas mengubah semaksimal mungkin dari kondisi unplanned shutdown pada kegiatan operasi migas, menjadi planned shutdown. Caranya antara lain adalah dengan merencanakan secara akurat jadwal pemeliharaan operasi, yang memaksa harus melakukan shutdown. Unplanned shutdown pada kegiatan operasi migas, sebisa mungkin hanya untuk kondisi yang benar-benar disebabkan faktor alam, yang berada di luar kemampuan manusia. Â
Langkah-langkah semacam itu penting mengingat investasi di hulu migas masih sangat diharapkan. Migas masih memiliki kontribusi kepada APBN.
Berkaitan dengan kontribusi migas kepada APBN, juga perlu dipikirkan adanya perubahan dalam rezim kontrak PSC. Rezim kontrak PSC yang selama ini menganut azas lex spesialist perlu ditinjau ulang, apabila kontrak tersebut berhubungan langsung dengan profitabilitas (link to profitability).
Maksudnya, jika keekonomian sebuah kontrak PSC menghadapi hambatan atau tidak sesuai pada waktu kontrak itu ditandantangani lantaran munculnya peraturan perundang-undangan yang baru, misal perubahan rezim pajak, sebaiknya kontraktor mendapat kesempatan untuk menegosiasikan ulang kepada pemerintah, yang dijamin dalam pasal-pasal stabilisasi (stabilization clause). Cara ini juga dapat lebih menjamin investor untuk tetap bersemangat menjalankan kegiatan investasinya.Â
Dengan demikian, upaya pemerintah untuk menjadikan industri hulu migas menjadi prime movereconomy, atau pengerak ekonomi akan bisa menjadi kenyataan. Hal ini juga sekaligus meninggalkan paradigma lama yang hanya memfokuskan industri hulu migas sebagai pendapatan negara, atau revenue base.
Dengan memakai paradigma baru tersebut, memang ada kemungkinan pendapatan dari sektor migas menurun, terutama karena melemahnya harga minyak dunia atau pun tak tercapainyanya target lifting. Tetapi, pertumbuhan ekonomi dapat dipertahan, mengingatkan investasi industri hulu migas tetap terjaga. Sehingga, multiplier effect pun terjadi dari tetap berjalannya industri hulu migas, yang berujung pula pada ketersedian energi bagi industri dengan harga lebih murah. Lapangan kerja baru juga lebih memungkinkan terbuka, dengan memakai paradigma economic growth base ini. Taraf hidup masyarakat pun akhirnya dapat meningkat. (*)