Mohon tunggu...
Satyawati Irianti Nugroho
Satyawati Irianti Nugroho Mohon Tunggu... -

S1 dan S2 UGM, hakim, menikah, 2 orang anak

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Aku dan Ola

9 Januari 2014   12:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:59 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

CERPEN: AKU DAN OLA

16 September 2013 pukul 22:38

Kumainkan kedua kakiku di air sungai yang jernih. Dingin terasa menembus hingga ke sumsum. Udara disekitarku sejuk, lembab dan sedikit gelap karena rimbunnya daun-daun pohon bambu. Nampaknya, jarang ada orang datang ke tempat ini. Aku suka suasana seperti ini. Kudengar daun kering terinjak, aku menoleh. Seorang anak perempuan kecil menatapku takut-takut. Aku tersenyum, ia membalas senyumanku.

“Mari, sini sama Tante. Kau suka main air?”

Anak kecil itu mengangguk, ia mendekat.

“Siapa namamu?” tanyaku.

“Ola,” jawabnya pelan.

Nama yang manis. Berasal dari daerah manakah ia? Tapi, itu tak penting. Kami lalu asyik bermain.

“Berapa umurmu?”

“Tiga,” jawab anak cerdas itu.

Kami terus bermain dan bercakap-cakap. Tak terasa suasana semakin gelap, senja mulai turun.

“Olaaa!”

“Kau dicari, Ola,”

Ola mengangguk, ia berdiri. Melambaikan tangannya yang mungil. Aku membalasnya.

“Ola! Kenapa main jauh-jauh?” kata seorang perempuan, ia segera memeluk dan membawa Ola pergi dari tempat itu tanpa menghiraukanku.

Senja telah berganti malam. Baiklah, sekarang apa yang harus kulakukan? Aku tadi lupa menanyakan pada Ola dan ibunya jalan terdekat untuk menuju kota. Sebaiknya aku mencari tempat untuk beristirahat yang nyaman.

Hari semakin larut dan sepi. Aku terus berjalan. Ah, ada pos ronda. Aku mendekat dari arah belakang. Kulihat dua orang peronda itu sedang bermain catur. Kalau aku bertanya apakah tidak mengganggu mereka? Kulihat, salah seorang dari mereka berbicara sambil berbisik-bisik. Mereka menoleh ke kanan dan ke kiri lalu bergegas meninggalkan tempat itu. Mungkin, ada yang mencurigakan, sehingga mereka harus berkeliling memeriksa. Aku teringat barang-barang yang kutinggalkan. Aku harus kembali untuk menjaga barang-barangku. Ah, gagal lagi aku bertanya.

Keesokan harinya, pada jam yang sama Ola kembali muncul. Aku sedang menikmati air yang mengalir dikakiku.

“Hai, Ola,” sapaku riang.

Ola mengangguk. Ia membawa boneka dan kue. Disodorkannya kue yang dibawanya.

“Terima kasih, Ola,” kuterima pemberiannya. Kuletakkan hati-hati di pinggir batu. “Nanti, Tante makan. Sekarang Tante masih kenyang”.

Ia mengangguk. Kami kembali bermain bersama. Ola tertawa senang ketika bonekanya kumainkan dan kuajak bercakap-cakap.

“Olaaa!”

Kembali teriakan itu terdengar. Perempuan itu menatap Ola dengan wajah yang sulit kutebak.

Perempuan itu langsung mengambil dan menggendong Ola. Ola melambaikan tangannya. Aku membalas. Perempuan itu pergi tanpa menoleh lagi kebelakang. Ah, aku lupa lagi bertanya.

Aku kembali berjalan menyusuri sungai, hingga menemukan jalan ke sebuah desa. Bukankah ini jalan yang kemarin? Benar, kulihat lagi pos ronda itu. Kini isinya tiga orang. Aku mendekat. Mereka sedang bermain domino. Salah seorang mengangkat kepalanya, lalu berbicara dengan kawan disebelahnya. Kawan disebelahnya bertanya lagi pada kawan satunya. Mereka semua terdiam. Lalu, seperti yang kulihat kemarin. Mereka bergegas meninggalkan pos ronda. Ah, pasti kampung ini tak aman, batinku. Aku teringat dengan tas yang kutinggalkan di pinggir sungai. Apa boleh buat. Aku harus kembali. Mudah-mudahan besok ada titik terang untuk bisa keluar dari desa ini.

Keesokan harinya, aku kembali menantikan Ola, sahabat kecilku. Mengapa belum datang juga. Aku hampir berdiri untuk mencari Ola, ketika kudengar suara daun kering diinjak-injak. Mengapa ramai sekali? Aku menunggu. Ola datang! Namun, kini Ola tak sendiri. Ia datang dengan beberapa orang. Seorang diantaranya kukenal sebagai perempuan yang selalu datang menjemput Ola.

“Hai, Ola,” sapaku ramah.

Ola tertawa, “Hai, Tante”.

Ola menunjuk padaku sambil memandang pada perempuan yang raut wajahnya sangat sulit ditebak. Aku mengajak perempuan itu tersenyum, tapi ia tak membalas. Seorang laki-laki bersarung dan berpeci nampaknya mau berteman denganku. Ia menatapku. Ia duduk dihadapanku, lalu mengajakku berbicara.

Aku hanya ingin kembali ke kota.

“Baiklah, tunjukkan barang-barangmu, biar kami bantu,” kata laki-laki itu.

Aku berjalan lebih dulu, laki-laki itu bersama tiga orang laki-laki lain yang mengenakan rompi hijau metalik ikut berjalan mengikutiku. Kami berjalan cukup jauh. Setelah berjalan hampir sepuluh kilometer, kudengar mereka berteriak. Aku menoleh. Mereka menemukan sesuatu. Mereka menjadi sangat sibuk, mengangkat sebuah benda yang terjepit di sela-sela batu. Mereka memasukkannya ke sebuah kantong besar yang telah mereka bawa dan memanggulnya ke pinggir sungai, setelah itu mereka membawa sebuah tas  yang cukup berat. Aku mengikuti.

Hari itu sekelilingku teramat sibuk. Aku melihat orang-orang berdoa dan shalat di masjid. Kulihat mereka. Banyak wajah-wajah kukenal. Irsan, laki-laki setia itu duduk sambil menutup wajahnya, bahunya terguncang-guncang. Aku tahu laki-laki itu menangis. Lalu, ada seorang perempuan setengah baya pingsan. Seorang bapak terus mengalunkan ayat-ayat suci Al Quran. Mereka semua sibuk, sehingga tak menghiraukan kehadiranku. Tapi, cukuplah sudah. Aku harus segera menemui Ola.

Di tengah jalan sebuah koran terbang melayang tertiup angin mengenai lenganku. Aku menangkapnya, sebuah judul berita menarik perhatianku: SEORANG HAKIM MENGHILANG dan ditemukan tewas. Diduga ia korban tabrak lari. Sampai saat ini polisi masih mencari pelaku yang telah menewaskan seorang perempuan yang berprofesi sebagai hakim di salah satu pengadilan negeri di Madura. Polisi mengetahui identitasnya setelah membongkar tasnya yang berisi antara lain berkas perkara dan dompet miliknya……

Aku teringat dengan peristiwaku sendiri. Malam itu mobilku tak bisa distater, padahal aku harus kembali ke Sampang malam itu juga. Apa boleh buat aku terpaksa memakai sepeda motor dari Gresik. Aku nekat, tapi kini kukatakan itulah kebodohanku, atau takdirku…

Aku melanjutkan perjalanan menemui Ola. Dengan mudah kutemukan rumahnya. Ia sedang bermain di teras rumah.

“Ola,” aku memanggilnya.

Anak kecil itu tertawa gembira menyambutku.

“Ola, Tante mau pamit. Terima kasih karena berkat Ola, Tante…” aku belum selesai bicara. Seorang perempuan keluar dari dalam rumah.

“Ola?” tanya perempuan itu yang melihat Ola tersenyum-senyum. Ola menunjuk padaku.

Perempuan itu mengikuti arah yang ditunjuk Ola, perlahan perempuan itu berkata, “Jangan ganggu anakku lagi. Kau sudah ditemukan, pergilah ketempatmu,” lalu perempuan itu menggendong Ola. Aku melambaikan tangan, Ola membalas. Aku mulai merasa tubuhku melayang terus ke udara. Naik, dan naik terus.

Itulah aku, hakim korban tabrak lari yang terjungkal ke sebuah sungai dan terhanyut sejauh sepuluh kilometer. Duapuluh empat kilometer sebelum Sampang.

Sampang, 16 September 2013.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun