Mohon tunggu...
Satya Dimitri
Satya Dimitri Mohon Tunggu... -

music is the best of me

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kisah Sengketa Pajak BCA

6 Mei 2015   14:12 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:19 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14308961071745794083

[caption id="attachment_382207" align="aligncenter" width="606" caption="Pajak BCA - sumber, kompas.com"][/caption]

Beberapa bulan belakangan ini, kasus pajak BCA menjadi sebuah isu yang menarik untuk dibahas. Jika ingin memulai pembahasan mengenai kasus pajak BCA, bisa dimulai dari krisis moneter yang menimpa Indonesia pada tahun 1998.

Selain itu, kasus pajak BCA ini telah memasuki ranah pidana korupsi dengan menyeret nama Hadi Poernomo yang dianggap telah merugikan negara akibat kebijakannya yang mengabulkan keberatan BCA atas pajak senilai Rp 375 miliar. Seharusnya kasus pajak BCA ini lebih sesuai masuk ke ranah administrasi. Penjelasan lebih lengkap mengenai kasus pajak BCA bisa dilihat dalam sebuah yang membahas Pajak BCA – Kasus BCA Bukan Merupakan Ranah Pidana Korupsi.

Krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998 telah melumpuhkan perkenomian Indonesia. Banyak bank di Indonesia yang ikut terkena efek dari krisis moneter ini, salah satunya Bank BCA yang mengalami kerugian sebesar Rp 29,2 triliun. Untuk menyelamatkan kelangsungan hidup perusahaannya, BCA rela menjadi BTO (Bank Take Over) yang 92,8 persen sahamnya dimiliki oleh pemerintah.

Berdasarkan Instruksi Menteri dan Gubernur Bank Indonesia serta kebijakan BPPN, status BCA sebagai BTO menjadikan segala wewenang, direksi, komisaris, RUPS, dan total aset BCA dialihkan ke BPPN (Badan Penyegatan Perbankan Nasional). Termasuk piutang macet dan jaminan milik BCA senilai Rp 5,77 T yang juga dialihkan ke BPPN. Penjelasan lebih lengkap bisa dilihat dalam tulisan yang membahas tentang Pajak BCA – Kronologi Fakta Sengketa Pajak BCA.

Pada tahun 2002, Ditjen Pajak menerbitkan sebuah SP3 (Surat Perintah Pemeriksaan Pajak) untuk memeriksa laporan keuangan BCA. Hasil laporan tersebut menghasilkan koreksi yang membuat BCA merasa keberatan atas koreksi tersebut yaitu mengenai laba fiskal BCA.

Pada laporan tersebut, laba fiskal BCA menurut SKPN PPh (Surat Ketetapan Pajak Nihil Pajak Penghasilan) adalah Rp 174 miliar. Jumlah ini berbeda dengan pandangan Direktorat Jenderal Pajak yang menyatakan bahwa laba fiskal BCA adalah Rp 6,7 triliun. Terkait hal tersebut, ada koreksi dalam laba fiskal BCA senilai Rp 5,77 triliun.

Koreksi senilai Rp 5,77 triliun tersebut dianggap oleh Direktorat Jenderal Pajak sebagai penghapusan piutang macet BCA yang membuat beban BCA menjadi berkurang sehingga laba fiskal BCA menjadi Rp 6,7 triliun. Atas dasar ini, maka BCA diwajibkan membayar pajak senilai Rp 375 miliar.

Akan tetapi, BCA memandang bahwa koreksi senilai Rp 5,77 triliun tersebut merupakan penghasilan piutang macet ke BPPN karena status BCA ketika itu adalah BTO yang mana piutang macet telah dialihkan ke BPPN dan tidak membuat kas BCA menjadi bertambah.

Piutang macet BCA yang telah dilaihkan ke BPPN pun telah berhasil ditagih oleh BPPN ke para debitur sejumlah Rp 3,29 triliun. BCA yang berstatus BTO tidak memiliki hak untuk mendapatkan bagian dari Rp 3,29 triliun tersebut.

Jadi, BCA seharusnya tidak wajib membayar pajak senilai Rp 375 miliar karena koreksi laba fiskal Rp 5,77 triliun merupakan pengalihan piutang macet, bukan penghapusan piutang macet. Jika BCA masih diharuskan membayar pajak Rp 375 miliar, berarti BCA telah menjadi korban dari kebijakan BPPN.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun