Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tuhan, Kami Memang Belum Siap

12 Mei 2020   11:42 Diperbarui: 12 Mei 2020   11:59 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Instagram @iya_oya

Bahasa keren "lockdown" itu belum bisa kita pakai di negeri ini. Walaupun di kampung-kampung ada yang me-lockdown wilayahnya, tapi rupanya itu bukan "kunci mati" yang sebenarnya karena akses jalan keluar-masuk masyarakat masih terbuka bebas di bagian lain.

 Persoalan lockdown-melockdown pun selesai. Sudah terbukti di negara yang menerapkannya; malah bikin negaranya makin kacau. Atau mungkin karena kita sadar di-lockdown itu gak akan enak sampai akhirnya kita pun tak mau lagi menyebut-nyebutnya? Jangankan lockdown, lha diterapkannya PSBB aja masyarakat masih ogah-ogahan kok.

Jalan sunyi itu rupanya belum siap kita menapakinya. Barangkali karena kita masih berada dalam tingkat material. Kita belum mau menjadi seperti orang-orang yang rela lapar bahkan sengaja melaparkan diri. 

Soal material, logika, intelektual, lewat. Tingkatan spiritual sudah melampaui tingkatan di bawahnya. Mungkin itu tingkatan bagi orang-orang yang sudah berserah diri, dimana ketika Tuhan mau mengginikan atau menggitukan mereka, mereka sudah siap. Mereka sudah berada dalam kehendak dan gerak Sang Pencipta, dan mereka tidak mau melawan. 

Berbeda dengan orang-orang kebanyakan yang masih mempertentangkan keinginan dirinya dengan kehendak Tuhan. Tuhan maunya begini, tapi dia tidak mau mengikuti dan malah mengikuti keinginannya sendiri. "Mengikuti" dalam arti bukan cuma dalam konteks menaati aturan agama, ibadah atau yang semacamnya. Karena agama dan peribadatan hanyalah cara untuk manusia nantinya bisa mengikuti "gerak" Tuhan.

Foto: Instagram @iya_oya 
Foto: Instagram @iya_oya 


Kita belum ikhlas, belum rela, juga belum siap menyikapi keadaan. Belum siap secara personal, juga secara sosial. Kita masih begitu mempersoalkan untung-rugi, yang itu menjadi prinsip hidup. 

Kembali lagi, karena mungkin yang kita alami ini belum bisa dikatakan parah. Belum sampai mengambyarkan hati kita. Belum sampai melenyapkan prinsip untung-rugi tadi. Belum sampai menggoyahkan iman dan mempertanyakan dimana kehadiran Tuhan.

Di keadaan seperti ini semua mengeluh. Yang punya perusahaan mengeluh. Pegawai dan orang-orang yang masih bisa kerja juga mengeluh. Orang-orang yang tidak bisa kerja juga mengeluh. 

Orang-orang yang sudah tak dapat penghasilan juga mengeluh. Begitu juga orang-orang di bawahnya. Tidak salah kalau kita semua mengeluh. Itu wajar kok sebagai makhluk yang masih hidup dan masih merasa punya urusan di dunia.

Tak usah kita mengkhayalkan orang-orang yang sudah "mematikan dirinya", atau orang-orang yang sudah tak khawatir dan tak bersedih hati. Orang-orang semacam itu kemungkinan besar sudah tidak ada. Tidak realistis keberadaan mereka di tengah jaman yang "begitu hidup" seperti sekarang ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun