Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menunggu Apa, Sih?

17 Agustus 2019   17:24 Diperbarui: 17 Agustus 2019   17:31 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Apa esensi hidup di dunia ini adalah menunggu?" tanya Saprol. Sayang tak ada yang menjawab.

"Kita menunggu sesuatu yang pasti terjadi. Kematian, misalnya. Tapi juga menunggu sesuatu yang mungkin tak akan datang. Katakanlah itu sebagai sesuatu yang diharapkan. Yang anehnya kita masih saja mengharapkan sesuatu yang belum jelas itu. Apa bisa dikatakan bahwa kita menunggu sebuah harapan?" katanya lagi. Tapi masiiiih juga tak ada yang menjawab.

Setiap orang barangkali menunggu sesuatu. Entah apa itu. Entah apapun itu. Pada foto-foto berikut saya jadi banyak menemukan aktivitas menunggu tersebut, yang juga berarti mengharapkan datangnya sesuatu.

Mungkin Saprol ada benarnya ketika dia menyebut "harapan". Bahwa ketika menunggu sesuatu yang diharapkannya, di situ ada optimisme. Tapi bagaimana dengan menunggu kematian? Bagaimana ketika seseorang mengharapkan kematian? Optimisme macam apa yang seperti itu? Menginginkan kematian agar selesai segala urusan di dunia. Ternyata di balik sebuah harapan juga ada keputus-asaan. Atau mungkin bisa dikatakan optimisme dan pesimisme berada di dalam sebuah harapan.


Foto seorang ibu yang berjalan membawa balon-balon menunjukkan apa yang dikatakan Saprol tadi. Foto itu saya ambil di alun-alun utara Jogja sehari setelah Idul Adha kemarin.

Balon-balon yang dibawanya menjadi sebuah umpan, menjadi sebuah perantara bagi apa yang diharapkannya. Mau itu disebut rezeki atau uang atau rahmat Tuhan, yang jelas itulah yang diharapkannya. Tapi di foto ini saya juga menyadari bahwa menunggu itu ternyata bukan hanya aktivitas diam.

Foto selanjutnya di atas juga saya ambil di hari yang sama. Diadakan Grebeg Besar waktu itu.

Dokpri
Dokpri

Tampak jelas ada seorang bapak, ibu dan seorang anak kecil, dimana mereka menunggu di depan pagar keraton. Karena memang pasukan-pasukan dari dalam keraton  sudah pada keluar sebagian dan masih akan keluar waktu itu.

Dokpri
Dokpri

Dokpri
Dokpri

Dua foto di atas masih di lokasi yang sama. Bedanya subjek-subjek di foto itu kelihatan begitu ingin melihat secara lebih jelas apa yang ada di dalam keraton. Kepo gitu, ya kan? Bahkan sampai naik ke sebuah besi begitu. Memang jaman sekarang ini orang pingin jadi yang paling tahu. Pingin melihat sesuatu secara jelas sejelas-jelasnya. Ckckck... Awas jatuh Om, Dek...

Dokpri
Dokpri

Kalau gambar di atas saya ambil di Malioboro. Seorang bapak yang sedang main smartphone dan sedikit melirik ke arah kamera, yang mungkin seorang penjual topi-topi yang ada di sampingnya, atau mungkin juga bukan penjual. Yang jelas, cuma sampai situlah pengetahuan saya terhadap foto di atas. Entah dia menunggu pembeli atau bukan, jelas dia kelihatan menunggu sesuatu. Tapi, di jaman sekarang ini kayaknya menunggu itu sudah tidak lagi begitu membosankan. Why? Karena sudah ada smartphone!!!

Dokpri
Dokpri

Next! Pada gambar berikut di atas, lebih riil lagi aktivitas menunggu itu. Saya ambil foto ini di sekitar nol kilometer Jogja. Kayak di cerita-cerita atau film-film, ya kan? Seseorang yang sedang duduk sendirian di sebuah bangku taman. Suasananya pun sepi. Tapi saya jelas gak tahu apa bapak ini menunggu kekasihnya atau bukan. Juga bapak itu gak main handphone. Kalau di cerita-cerita romantis sih biasanya diceritakan menunggu kekasihnya, ya kan?

Dalam sejarah manusia kita juga menunggu seorang juru selamat. Mau disebut nabi atau apa, ya terserah. Dalam Islam, misalnya, menjelang akhir jaman nanti akan datang seseorang yang disebut Imam Mahdi, yang setelahnya akan datang Nabi Isa yang kembali ke bumi ini. Tapi kadang saya berpikir: buat apa menunggu sesuatu yang pasti terjadi? Menunggu itu gak enak, membosankan (kecuali ada handphone). Bayangkan, padahal cuma menunggu saja, tapi nyatanya bikin capek juga. Untuk menunggu beberapa menit saja sudah bikin suntuk. Apalagi menunggu sesuatu yang akan terjadi bertahun-tahun lagi. Besar kemungkin kita sudah mati duluan sebelum yang ditunggu itu datang.

Tapi kayaknya Saprol salah kalau mengira kita hanya menunggu di dunia ini. Bahkan ketika kita sudah di alam sana pun kita juga masih menunggu sesuatu. Kita menunggu ampunan dan rahmat Tuhan. Dan kita juga mengharap syafaat dari Nabi yang atas izin dari Tuhan dia akan menyelamatkan kita di hari yang begitu menakutkan.

Jadi, tunggu aja Prol. Karena aku pun menunggu...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun