Dibandingkan negara lain mungkin negara ini belum apa-apa. Mungkin lho ya... Maksud saya, kalau memang kita sudah apa-apa, ya tak ada yang perlu dibesar-besarkan sampai kemudian kepala kita jadi besar. Tapi kalau memang belum apa-apa, ya ini jadi perhatian kita untuk mengapa-apakannya.
Satu hal yang saya sadari belakang ini, kita masih saja bermental konsumtif atau selalu bangga menjadi konsumen. Kalau secara lebih luas mau disangkutpautkan dengan konsumerisme, konsumtivisme atau hedonisme, ya silahkan. Tapi mungkin di kepala kita, kita berpikir kalau pembeli itu levelnya di atas penjual dan produsen. Pembeli itu kan haknya dilayani. Pembeli itu yang mengeluarkan dan memberikan uang. Jadi karena itu kita bermental konsumen yang bangga bisa membeli, apalagi kalau yang mahal, ya kan?
Saya bukan pingin bahas ekonomi atau yang semacamnya. Saya gak ngerti soal begitu-begitu. Sejak sekolah dulu saya gak tertarik pelajaran semacam itu. Tapi ya memang kita ini demikian halnya. Di saat negara lain sudah memproduksi barang jualannya ke negara-negara lain, eh kita masih bangga jadi pembeli, penikmat. Sekarang sih masih bisa membeli dan menikmati. Ke depannya ya gak tahu.Â
Ya memang kita gak tahu kapan kita akan sanggup membeli barang-barang luar. Atau mungkin yang mampu membeli akan semakin sedikit. Artinya, nanti akan ketahuan mana yang kaya dan yang pas-pasan (sebenarnya mau bilang "miskin", tapi kok gak enak).
Saya jadi berpikir: yang namanya negara maju itu bukan maju begitu saja secara simsalabim --kayak lagu terbarunya Red Velvet.
Negara maju itu bisa demikian adanya pasti kan karena kontribusi rakyatnya. Negara itu apa sih? Cuma suatu wilayah atau komunitas besar dari suatu bangsa. Negara itu benda mati. Tanpa ada manusia yang berakal di dalamnya ya negara itu gak jadi apa-apa, kan begitu? Lantaran perenungan inilah saya jadi merasa punya dosa besar yang barangkali letaknya satu tingkat di bawah besarnya dosa saya kepada Tuhan. Yaitu dosa terhadap bangsa ini.
Seperempat abad lebih sedikit saya hidup di dunia, di Indonesia ini. Saya belum pernah keluar dari negeri ini. Entah ngapain saja saya selama hidup di dunia. Yang pasti saya melakukan banyak hal, tapi merasa belum ada suatu perbuatan saya yang berarti besar. Ini bukan merendah, tapi memang demikian adanya. Tuhan dan Malaikat pun pasti mengiyakan apa yang saya katakan tadi. Saya gak berani bohong apalagi membawa-bawa Tuhan.
Karena bagi saya dosa itu bukan cuma perbuatan yang sudah dilakukan, tapi perbuatan yang belum dilakukan juga saya kira itu merupakan dosa. Dan dosa bukan hanya sekedar dosa, melainkan juga, pada hakikatnya, merupakan rasa bersalah. Karena kan banyak orang ngomong dosa tapi tetap aja berbuat gak baik? Lha kalau begitu kan jadinya gak nyambung.
Apalagi secara relijius, negara ini punya semacam tanggungjawab malu yang besar di mata dunia. Karena saya berpikir begini: sebuah negara bermayoritas Muslim terbesar di dunia ini sudah menunjukkan apa bagi dunia, di mata dunia? Atau bahasa lainnya begini: sudah ngapain aja orang-orang Islam di negara ini? Pertanyaan tadi juga pastinya tertuju pada diri saya sendiri.Â
Sebagai orang Islam kita ini mayoritas. Kalau kaum beragama yang minoritas lebih mampu membanggakan Indonesia di mata dunia, ini kan jadi sesuatu yang memalukan bagi orang Islam. Memang sih Indonesia ini bukan cuma punya orang Islam tok. Sejak awal berdirinya negara ini kita gak punya kesepakatan bahwa ini negaranya orang Islam. Artinya siapapun dan apapun agamanya, selama dia bangsa Indonesia, ya boleh-boleh saja menaikkan derajat negara atau bangsa ini.
Makanya saya sudah cari di kamar saya sesuatu yang bisa saya jadikan komoditas ekspor, tapi ternyata tidak ada yang pantas atau layak dibuat dijual. Bantal saya lecek karena dicuci beberapa kali setahun. Tempat tidur saya cuma karpet 25 ribuan, dibeli lebih dari tiga tahun yang lalu, itu pun sudah sobek-sobek dicakari kucing. Baju pun gak ada yang bagus. Malah saya lebih senang baju-baju bekas yang saya beli di Sekaten. Begitu juga jaket-jaket beli di situ.
Bahkan tulisan remeh ini juga gak begitu berarti bagi bangsa ini, apalagi untuk memajukannya sebagaimana negara Jepang dengan teknologinya, China dengan smartphonenya, Korea Selatan dengan handphone Samsung, Hyundai dan K-Pop-nya, Thailand dengan Whiskas, iklan-iklan lucu dan tentunya juga Lisa "BlackPink"nya dimana dia merupakan idol K-Pop dengan followers Instagram terbanyak, padahal dia bukan orang Korea Selatan (sayangnya saya sudah unfoll instagramnya. Tapi beberapa kali masih stalking juga sih...).
Yah... Memang belum ada suatu kontribusi yang berarti dari saya. Ini bukan merendah. Â Beneran. Tuhan dan Malaikat pun pasti mengiyakan apa yang saya katakan ini. Saya yakin sekali...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H