Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Tujuh Hari Empat Malam

27 Mei 2019   20:36 Diperbarui: 29 Mei 2019   19:51 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Orang Tidur (Gambar: Milik Penulis)

Setelah melewati proses penjernihan pikiran yang sangat rumit; berdiam diri selama tujuh hari lima malam, menahan nafas selama berjam-jam, dan hanya makan angin (termasuk kentutnya sendiri) akhirnya Saprol menemukan konklusi yang sulit dipercaya.

"Memang begitu. Orang banyak tak akan percaya," katanya malah justru meyakinkan.

"Tak akan ada yang percaya kalau perbuatan manusia akan berujung absurd kalau tak mau tau lagi dengan nilai-nilai. Bahkan perbuatan semacam itu cenderung mengarah pada keburukan daripada kebaikan. Kalau bukan yang baik, ya berarti buruk, kan?" demikian konklusinya.

Pernyataan yang terasa aneh kalau melihat kenyataan bahwa kita ini masyarakat beragama.

Tapi apa iya agama dan nilai-nilai bisa saja terpisah? Apa secara tak langsung Saprol mau mengatakan itu?

Saprol mungkin ada benarnya, walaupun lagi-lagi sulit dipercaya. Bahwa bisa saja agama secara tak disadari sudah terpisah dari nilai-nilai. Bahwa agama dipersepsikan hanya sebagai suatu anutan yang itu pun seringkali dipahami sebagai identitas dan formalitas. 

Bayangkan kalau ibadah pun dimaknai sekedar formalitas; sebagai sekedar kewajiban dan bukan kebutuhan; sebuah aktivitas tanpa spiritualitas. Bahkan tanpa ada kemauan untuk mengetahui Tuhan. Jadi, bagaimana bisa mendekati Tuhan tanpa terlebih dahulu tahu Tuhan itu apa?

Memang agama tak secara blak-blakan menerangkan soal perbuatan baik, melainkan sedikit saja. Tapi ya memang itu tugas akal manusia. Sekarang cara untuk beramal baik bisa dengan berbagai cara. Kecuali bagi orang-orang yang beragama tanpa akal. Contohnya, yaitu dengan seenaknya mengatakan penggal kepala, darah halal, dan lainnya. 

Mereka kira itu baik. Mereka coba meniru konstelasi masyarakat di zaman Nabi. Dalam konteks keimanan dan ketaqwaan memang masyarakat saat itu yang terbaik. Tapi dalam konteks-konteks lain, jangan disamaratakan semuanya baik. Bagian tertentu yang dulu pantas dilakukan, sekarang tak pantas. Di zaman Nabi orang bisa bebas mengangkat pedang. Mereka bisa melakukan  sesuatu yang kita saat ini tak bisa atau tak pantas melakukannya.

Di negara yang masyarakatnya beragama ini, ternyata absurditas itu memang nyata terjadi. Gimana bisa di tengah jalan ada orang yang melukai orang lain? Gimana bisa ada mobil terparkir damai sejahtera, lalu dibakar? Gimana bisa ada orang menjatuhkan batu dari atas jembatan untuk melukai orang lain? Untuk apa semua itu? Tujuannya apa? Iseng? Cuma senang-senang? Hobi? Tak ada yang jelas menurut akal sehat. Padahal itu disengaja. Di situlah absurdnya. Padahal mereka bukannya tak tahu kalau mereka akan berhadapan dengan penegak hukum. Bahwa mereka akan dihukum. Tapi kenapa?

Atau karena stres? Masalah ekonomi? Balas dendam? Rasanya tak logis. Bayangkan, itu dilakukan oleh orang-orang yang beragama, setidaknya kita berasumsi seperti itu.

"Kita tak bisa menyalahkan siapa-siapa," kata Saprol, "Bahkan untuk menyalahkan para agamawan, guru, orangtua atau yang lainnya.

"Karena persoalan nilai-nilai ini persoalan tingkat tinggi. Ini soal kesadaran pribadi untuk mengetahui ini baik, itu buruk. Tapi apa kita masih pantas mendoktrin sebagaimana kita melarang anak kecil; jangan lakukan ini, jangan lakukan itu?

"Sayangnya mereka bukan lagi anak kecil, walaupun tingkahnya kayak anak kecil. Sebuah larangan pun mungkin bisa saja membuat mereka makin muak.

"Mau gimana lagi? Ini soal kesadaran pribadi," kata Saprol terkesan pasrah.

"Atau mau diajak berpikir supaya sadar? Ah... Berpikir itu bukan sesuatu yang enak. Apalagi untuk bicara soal etika, moral, bahkan akhlak. Itu konsumsi orang-orang tertentu."

Dia sendiri sebenarnya cukup kecewa dengan materi atau bahasan keagamaan selama ini. Dia tidur saat khotbah berlangsung. Bukan sengaja tidur, melainkan memang tertidur.

"Ah, kalau gitu aku mau berangkat lagi," katanya.

Ketika ditanya berapa lama dia akan bertapa, dia menjawab "tujuh hari empat malam lagi."

Sungguh... dunia macam apa yang dikunjungi Saprol? Kok perputaran siangnya bisa lebih banyak daripada malamnya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun