Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

"Kewolesan" Hidup

29 September 2018   19:38 Diperbarui: 29 September 2018   19:44 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Karya Pribadi

Saprol terlihat murung pagi itu. Wajahnya sangat kontras dengan suasana pagi yang cerah. Secerah wajah seorang wanita yang selalu terlihat bahagia.

"Kau ini kenapa woi?" tanyaku heran.

"Aku lagi pusing tau..." jawab Saprol menampakkan wajah yang jelas sama sekali tak enak dilihat.

"Makanya, kau tuh jangan mikir terus. Ya lama-lama pusinglah. Otak ini juga bisa gempor. Jangan belagak jadi filsuf-lah, Prol."

Tapi Saprol diam saja. Mungkin karena terlalu malas meladeni aku.

"Aku ini justru lagi malas mikir," jawab Saprol tiba-tiba.

"Berarti hidupmu itu yang selalu kau bawa pusing," komentarku.

"Ah, nggak juga," sanggahnya.

Ini bukan kali pertama aku menemukan manusia dengan wajah yang tak sedap dipandang. Gemblung, seorang manusia langka yang hanya mandi seminggu sehari --itu pun kalau moodnya lagi bagus-- juga pernah mengalami hal serupa tapi tak sama. Sesuatu yang aneh, karena Gemblung termasuk orang yang enak hidupnya. Tapi kenapa Gemblung bisa sedemikian depresi saat itu?

Gemblung mengatakan kalau dia yakin setiap orang sebenarnya merasakan kedepresian.

"Mau miskin, mau kaya, sebenarnya kita pasti mengalami pergulatan mental. Itu bisa terjadi karena faktor eksternal dan internal," demikian Gemblung berteori di depan hidungku dengan aroma bau badan yang... wuaaaaahhhhh bikin speechless deeeh!

Sengaja aku tak berkomentar terhadap teorinya itu karena memang tak ingin meladeni. Coz, you know, ini soal baunya!

"Banyak orang seringkali hanya memahami pergulatan mental itu secara eksternal. Bisa karena konstelasi sosial, tuntutan-tuntutan tertentu yang itu sulit dipenuhi, masalah keluarga, ekonomi, dan lain-lain. Padahal orang yang hidupnya enak kayak aku ini juga bukan tak mengalaminya," demikian pengakuan si Gemblung.

"Yah... Mungkin juga bukan sama sekali mengabaikan faktor eksternal, karena kita hidup di dunia dan berhadapan dengan segala persoalan eksistensial," lanjutnya. "Dan karena pikiran kita berusaha memahami segala hal tentang hubungan diri dengan kehidupan, di sinilah dialektika itu terjadi. Manusia berusaha memahami, dia mendapatkan jawaban atas pertanyaan dalam hidupnya, tapi dia juga seringkali gagal menemukan jawaban tersebut. Proses semacam ini yang dulu pernah kualami."

Aku masih diam sambil sesekali menarik dan menahan nafas. Tak usah heran kenapa aku seolah tak berkutik. Bukannya tak pernah kusarankan dia mandi. Masalahnya, bisa ngamuk dia nanti. Tak terhitung berapa orang yang sudah salto tujuh putaran dibuatnya cuma karena menyarankan untuk mandi. Makanya aku lebih baik diam.

"Barangkali kau juga nanti mengalaminya. Aku yakin itu," katanya kemudian tertawa.

"Aaah... terserah kau mau bilang apa, huuuuppphh," kutarik nafas dalam-dalam. Kutahan.

Bukannya aku menafikan apa yang dikatakannya tadi. Ya, kita pasti merasakan hal itu. Tapi pada akhirnya semua itu akan bermuara pada sikap-sikap tertentu dalam menyikapi hidup. Ada yang woles, juga ada yang terlalu serius sebagaimana Saprol si filsuf gadungan.

Kita bakalan depresi kalau terlalu menseriusi hidup ini. Padahal hidup ini sebenarnya tak usah diambil serius. Kita perlu bersikap munafik atau berpura-pura dalam hidup. Kita tak perlu terlalu jujur karena kehidupan ini sendiri menipu. Kalimat terakhir itu aku kutip dari seorang syekh yang sangat kuhormati. Aku langsung mengiyakan ketika beliau mengatakan kalimat tadi. Entah kenapa. Mungkin karena sesuai dengan pikiranku. Klise memang.

Yaah... beginilah susahnya kalau punya teman yang terlalu serius. Segala hal dibuat susah. Teori-teori bertebaran diikuti deskripsi yang panjangnya bukan main. Satu hal yang paling bisa untuk mewoleskan diri dari ranah yang ruserius-serius-serius itu tak lain adalah dengan... koplo. Jangan salah, coba lihat saja lirik-lirik lagu yang dinyanyikan Via Vallen. Contohnya, lagu "Sayang", "Bojo Galak", atau "Jerit Atiku". Coba lihat bagaimana liriknya menggambarkan soal permasalahan hidup, terutama yang terkait dengan asmara. You know, cinta. Sesuatu yang seringkali membuat orang khilaf, mabuk, bahkan saling bunuh atau bunuh diri.

Tapi apa yang membuat keseriusan itu menjadi woles, ya musik koplonya itu sendiri. Naaah... dalam hidup, membuat kayak begini yang susah.

"Koplo memang is the best," kata Saprol ketika dia sudah mulai belajar mewoleskan diri. Hahaha... Jangan tanya dia belajar dari siapa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun