Kalau banyak orang menyebut dirinya sebagai hamba, ya itu silahkan-silahkan saja. Hal demikian memang benar, karena setiap manusia maupun ciptaanNya yang lain, pada hakikatnya adalah hamba-hamba yang diciptakan untuk patuh kepadaNya. Secara identitas, setiap diri manusia adalah hamba Tuhan, walaupun soal patuh atau tidaknya dia kepada Tuhan, di situ sudah dalam konteks penghambaan.Â
Tapi entah kenapa saya pribadi sampai sekarang malu untuk mengatakan diri saya 'hamba'. Barangkali karena kata 'hamba' bukanlah sekedar identitas belaka, bagi saya. Dia lebih pantas dikategorikan sebagai kata kerja atau kata sifat. Saya merasa tak tahu diri menyebut diri saya 'hamba' kalau saya tidak menghamba dengan baik, walaupun --sekali lagi-- bahwa identitas eksistensial diri saya sebagai makhluk adalah hamba. Bagaimana kualitas penghambaan diri seseorang, yang pasti tahu hanyalah Tuhan. Apa lagi yang menjadi usaha kita kalau bukan untuk berusaha menghamba dengan sebaik-baiknya?
Penghambaan menjadi suatu kemestian. Tapi, kalau kita lihat dari perspektif kemanusiaan, kita juga harus pahami bahwa menaati perintah Tuhan bukanlah paksaan, melainkan pilihan. Tak ada satu pun orang yang berhak memaksa orang lain untuk beribadah, apalagi menganut suatu agama. Pilihan untuk beribadah atau tidak beribadah, hal itu merupakan hak asasi manusia.
Bagi yang mengetahui konsekuensi di balik perintah beribadah, biarlah itu menjadi pegangan baginya sebagai cara untuk mendekatkan diri kepada Penciptanya. Tapi bagi orang yang tak mau tahu, tak perlu kita berlelah-lelahan untuk memperingatkannya apalagi sampai membuat mulut ini berbusa. Karena kalau sudah tak mau tahu, itu merupakan ketertutupan diri dimana seseorang sudah menutup rapat segala indera, termasuklah pikiran atau akal sehatnya
Barangkali ihwal penghambaan ini juga memiliki persepsi-persepsi yang berlainan. Ada yang sekedar menghamba dengan niat semata-mata atas perintah Tuhan, dan ada juga yang menyadari hal itu sebagai kesadaran eksistensial dirinya sehingga penghambaan kepada Tuhan dimaknai bukan hanya sekedar keharusan, tapi juga kebutuhan.
Kesadaran semacam itu tak lepas dari tahap-tahap intelektual dan spiritual seseorang. Tapi bukan berarti saya menilai keliru orang-orang yang sekedar menuruti perintah Tuhan seperti yang sudah disebutkan tadi. Kalau suatu perintah itu baik dan merupakan kemestian, saya rasa tak ada yang harus dipermasalahkan karena memang tujuannya sama, yaitu sama-sama mematuhi Tuhan.
Di sini saya cuma ingin memaknai penghambaan manusia atas dasar kesadaran, dimana makna 'hamba' tadi mengendap pada diri manusia. Kalau sudah seperti itu, saya yakin segala tindakan dan pikiran seseorang tak akan lepas dari sifat-sifat penghambaan seorang hamba Tuhan, bahwa dia hanya akan mengorientasikan segala tindakannya hanya untuk Tuhan, atau karena Tuhan. Hal ini diibaratkan sebagaimana seseorang yang mencintai orang lain, maka dia hanya akan melakukan sesuatu hanya untuk orang yang dicintainya itu. Jadi, ihwal penghambaan ini tak terlepas dari rasa cintaÂ
Di samping itu kita juga harus menyadari kalau penghambaan adalah sebuah visi dimana orientasinya mesti benar dan disertai dengan niat yang murni. Kalau seseorang beribadah kepada Tuhan, maka dia harus benar-benar mengarahkan wajahnya kepadaNya. Niatnya pun tidak seharusnya disertai dengan pretensi-pretensi atau tendensi selain Tuhan.
Menghamba kepadaNya adalah tugas utama manusia. Dan ketika kita sedang tidak berhadapan denganNya, bukan berarti penghambaan itu terlepas dari dirinya. Maksudnya, menghamba, mengibadahi, atau mematuhi Tuhan, bukan hanya dalam konteks ritual peribadatan, sebagaimana hidup ini sendiri tak lain adalah untuk beribadah.
Tuhan telah menetapkan apa yang harus kita lakukan di dunia, termasuklah ketika kita berinteraksi dengan sesama makhlukNya. Jadi bisa dikatakan, adalah usaha penghambaan ketika segala aspek hidup kita tidak kita lepaskan dari usaha mengimplementasikan perintah-perintahNya. Atau, dengan kata lain, agama jangan dilepaskan dari aspek-aspek kehidupan sekuler yang tak berhubungan dengan agama. Walaupun barangkali cukuplah ini diberlakukan secara pribadi.
Tapi, kembali lagi, saya memang harus tahu diri kalau apa yang saya lakukan belumlah cukup baik untuk disebut 'menghamba'. Di sisi lain, saya pun tak semestinya merasa sudah baik dalam berserah diri kepadaNya.
Saya masih merasa malu. Masih merasa tidak pantas. Di luar sana jelas ada orang-orang yang lebih baik daripada saya. Saya pun merasa tak pantas menilai diri saya atas kualitas-kualitas kepatuhan diri saya kepadaNya. Hal demikian rasanya cukuplah dikembalikan kepadaNya. Tak ada tahap akhir dalam hidup ini. Itulah kenapa belakangan ini saya berusaha untuk berorientasi pada kebaikan dan kebenaran dalam menempuh jalanNya dengan sebaik-baik mungkin, sebaik-baik mungkin, dan sebaik-baik mungkin sampai ruh ini melewati leher, nanti.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H