Tak ingin aku melakukan apapun selain menafakuri kehidupan beserta segala fenomenanya. Aku cuma ingin diam menghayati apa yang terjadi dalam hidup yang multidimensional ini. Tapi aku tak ingin terlalu jauh menyebrangi samudera metafisika. Aku pun bukannya ingin lari dari kehidupan dan hanya berurusan dengan Diri Sendiri. Apa gunanya kalau kulakukan itu, sementara di sekitarku orang-orang pada ribut mempersoalkan sesuatu? Tapi aku juga bukannya ingin ikut campur di dalamnya. Aku hanya ingin memahami. Dan soal akan jadi apa hasil dari apa yang kupahami tadi, aku belum memikirkan sampai sejauh itu.
Tak perlu tempat sunyi untuk berkontemplasi masuk ke dalam alam perenungan. Di sini, di pinggir jalan yang ramai kendaraan ini, pikiranku pun bisa bebas menjelajahi ruang dan waktu.
Bukan persoalan mudah untuk menyusun dan mengaitkan suatu subjek permasalahan sehingga kemudian menjadi jelas --walaupun tentu tidak utuh seutuhnya. Bahwa kita harus tahu sejarah, tahu rangkaian kausalitas, dan menghindari spekulasi-spekulasi yang tak mendasar.
Juga, tentunya harus mengikuti kaidah berpikir yang baik, yaitu logika. Tidak sebagaimana orang-orang yang bermodalkan kebencian yang sama sekali tak ilmiah dalam beropini, apalagi sampai harus memutarbalikkan fakta dan data.
Pandanganku teralihkan kepada sepasang kekasih yang usianya lebih mudah dariku. Mereka sibuk dengan smartphonenya masing-masing. Ini salah satu hal yang juga buat aku bingung: pacaran model apa yang kayak begitu? Duduk berhadap-hadapan, tapi hanya memandangi smartphone-nya masing-masing.
Kemudian mereka mulai membahas sesuatu yang itu juga terkait dengan apa yang kupikirkan yang hal itu juga ramai dipersoalkan belakangan akhir-akhir ini.
Dari perbincangan mereka yang berhasil kutangkap, aku tahu kalau mereka tak lagi peduli dengan otentisitas informasi-informasi yang mereka terima. Why? Aku tahu itu karena mereka sedang membuka media-sosial buatan seorang Yahudi yang belakangan kemarin bermasalah lantaran banyak data dari pengguna media-sosialnya yang bocor.
Soal media-sosial tadi, aku tahu kalau situasi politik yang saling serang menjadi semakin tak terkontrol karena demagogi-demagogi itu menggunakan media sosial sebagai sarana aksi mereka. Dan di saat masyarakat sudah begitu tak peduli dengan berita-berita yang otentik dan terpercaya, maka dilahaplah berita-berita sempalan oleh pengguna-pengguna media sosial yang sama sekali tahu soal kualitas sebuah berita. Dari hal itu, aku kira kalian pun tahu bahwa media secara tak langsung, membentuk persepsi-persepsi tertentu di pikiran seseorang atau orang banyak.
Aku yakin, banyak dari kita, apalagi generasi sekarang yang tak tahu sejarah, lebih suka mengambil pengetahua-pengetahuan dari internet. Sayangnya banyak yang tak baik. Video-video dipotong. Opini-opini tak logis, dan sangat terasa berisi kepentingan-kepentingan subjektif. Kupikir, orang-orang semacam itu memang pantas dijadikan korban untuk meramaikan hasutan-hasutan yang itu entah dari mana datangnya.
Padahal, kukira bukannya kita tahu, bahwa sebuah kebencian yang semata-mata dilandasi atas kebencian, tak akan pernah menggunakan logika dan akal sehat. Apalagi kalau sebuah kebencian itu membawa-bawa simbol-simbol agama seakan-akan memang setanlah pihak yang dibenci itu.
Padahal Tuhan tak akan sudi diriNya dan agamaNya dibawa-bawa untuk membenci orang lain. Begitu pun setan, tak akan sudi dibawa-bawa untuk menyerang pihak lain dengan cara yang kekanak-kanakan, tidak jitu, tidak profesional, dan tak bermodal! Setan tentu gengsi dengan cara-cara demikian, karena kita pun tahu kalau setan memiliki berbagai cara yang sangat canggih untuk membisiki manusia. Tapi tidak dengan cara-cara sempalan seperti itu.