Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mari Kita Pelihara Terorisme

21 Mei 2018   15:06 Diperbarui: 21 Mei 2018   15:18 529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: Karya Pribadi

Selain dikenal dengan zaman edan, rasanya lebih tepat lagi kalau zaman ini disebut dengan zaman kerancuan. Yaitu, zaman dimana Dajjal sudah mulai bekerja mengobrak-abrik orientasi nilai-nilai sehingga segalanya sudah sedemikian dibolak-balik kayak bikin telor dadar. Nyatanya, konstelasi yang begini ini sesuai dengan etimologi nama Dajjal itu sendiri.

Mungkin kalau saya menyebut-nyebut soal kebaikan dan kebenaran, nampaknya hal itu pun sudah tak laku, tak menarik. Entah karena sudah jadul, sudah usang, bikin bosan, atau karena apalah, kebanyakan kita sudah tak berminat untuk kembali mengenalnya. Atau mungkin juga karena kedua hal tadi telah sedemikian disubjektifikasi demi tujuan si subjek yang itu bisa untuk (kepentingan) apa saja. Ditambah pula dengan adanya media sosial yang tak memiliki kontrol sosial di dalamnya, makin enak saja beropini mengatakan ini-itu tanpa nalar logika atau tanpa ada unsur ilmiah di dalamnya.

Apalagi soal hasutan kebencian seperti yang sering terjadi, tak perlu modal dan usaha selain hanya bermodalkan kebencian itu sendiri dan... yaah ditambah data-data sempalan sedikit-lah. Siapa yang mau merusak suatu tatanan, jadi mudah saja. Mau meng-indoktrinasi orang banyak dengan ideologi-ideologi murahan, wah ini pun apalagi. Bahkan kita tak bisa anggap remeh kalau ideologi-ideologi semacam itu akhirnya jadi mendunia.

 Terorisme... yes terorisme! Ideologi mereka pun tak malu-malu lagi berkembang ke seluruh dunia menjangkiti orang-orang yang tak punya prinsip. Anehnya, ada pula pihak yang mau memelihara si teroris ini dengan berlandaskan atas argumen-argumen tertentu.

Mau berargumen seperti apa, ya itu terserah. Pikiran kita memang bisa membenarkan apa saja kok. Dengan logika --bahkan juga dengan data-- tindak terorisme, korupsi dan lain sebagainya bisa dibuat benar (maksudnya dibenarkan). Pikiran itu kan ibarat pisau yang bisa digunakan untuk kepentingan si pengguna. Tapi kalau kita tahu niatnya, di situ kita akan paham ada sesuatu (kepentingan) apa di balik pemikiran seseorang.

Yang buruk bisa jadi baik, begitu juga sebaliknya. Yang lebih aneh lagi, ada pula orang yang membela seolah-olah si pengebom ini tak bersalah. Yang pasti pemikiran mereka tak lepas dari spekulasi. Ada pula yang mengatakan mereka itu cuma korban sampai harus menyalahkan orang lain yang dia pun tak tahu siapa itu. Tapi yang jelas, analisis-analisis semacam itu terkesan sangat aneh kalau kita membaca dan memahaminya secara teliti.

Mungkin hal itu dilakukan karena relasi persaudaraan seiman. Jadi, penilaiannya ya memang tak objektif. Padahal yang kita kaji dari tindakan terorisme itu bukanlah orangnya, bukan agamanya, bukan pakaiannya, melainkan apa yang mereka lakukan. Terlepas dari siapa atau apa agamanya, silahkan saja tanya apakah perbuatan seperti itu baik dan benar? Ini yang menjadi permasalahannya. Saya sendiri sangat yakin, selama pikiran kita masih waras dan jernih dalam menilai sesuatu, sudah pasti kita tak akan membenarkan perbuatan semacam itu.

Tidak masalah kalau kita menganggap mereka sebagai saudara, karena pada dasarnya kita semua pun bersaudara. Tapi kalau sudah menyangkut kepada umat beragama, hal ini akan menimbulkan kesan tak baik. Kesannya, saudara-sudara seiman tadi melindungi para teroris itu --walaupun tidak semua saudara seiman tadi, termasuk saya, menyikapi demikian.

 Padahal kita pun bukannya tak tahu kalau mereka bakalan ngebom siapapun, bahkan saudara seiman yang bersimpati kepada mereka tadi, karena akal sehat para teroris ini memang sudah tertutup untuk menerima sesuatu yang tak sepaham dengan mereka. Begitu juga dengan persoalan HAM belakangan ini.

Padahal katanya kita mau memberantas terorisme sampa ke akar-akarnya. Di mana sih akarnya itu? Tentu di kepala si teroris. Itu baru satu akar, karena di luar sana pasti masih banyak berkeliaran akar-akar lain yang akan menumbuhkan buah-buah baru. Kalau kita bicara soal konsekuensinya ke depan, sangat berpotensial jika akar-akar itu akan menjalar kemana-mana. Lagian, kok kayaknya kita tak percaya banget sama kinerja BIN atau penegak hukum lain dalam mencari informasi-informasi menyangkut soal terorisme ini.

Rasanya perlu untuk kita memikirkan konsekuensi ke depannya. Mau menghabisi terorisme sampai ke akarnya ya perlu keseriusan. Memangnya mudah? Jangan pakai toleransi segala-lah kalau persoalannya sudah sedemikian gawat begini. Bayangkan, cuma karena satu orang saja orang lain jadi tewas. Ada sesuatu yang mesti ditoleransi dan ada yang tidak. Masak kita tak tahu yang mana-mana saja yang masih bisa ditoleransi dan mana yang tak boleh? Masak kita mau bela suatu perbuatan keji? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun