Bukannya agama pun berisi tentang perintah untuk berbuat kebaikan? Atau, jangan-jangan masih ada orang yang tak tahu kebaikan macam apa yang dimaksud dalam agama? Mau dikatakan bagaimana lagi kalau perbuatan keji pun dipandang baik?
Melangkahi Proses Panjang
Barangkali, kalau harus bicara soal kebenaran yang sering diasosiasikan kepada agama (tapi bukan ideologi yang diagamakan), sudah seharusnya kita tak usah lagi menyebut-nyebutnya, kalau hanya dipahami sebagai klaim subjektif belaka. Kebenaran bukanlah sesuatu yang sebegitu mudahnya diungkapkan, apalagi kalau sampai berbenturan dengan "kebenaran" lain.Â
Kebenaran itu luhur, mulia, dan tidak semua orang bisa mendekatinya dengan baik. Enak bener kalau setiap orang bisa mencaplok kebeneran. Bahkan tidak cukup dengan hanya menganut agama! Ada proses yang sangat panjang dimana seorang manusia harus melewati berbagai pengalaman yang akan membawanya pada hakikat kebenaran.Â
Itulah kenapa kebenaran harus dicari dan didekati dengan rasio dan hati. Tapi, bagi orang-orang yang hanya sekedar mengklaim dan "menguasainya" seolah-olah dia merasa itu hanya miliknya, sebenarnya mereka pun tak paham hakikat kebenaran, karena cara mereka menyikapi kebenaran pun sudah salah sejak awal.
Pada akhirnya, bagi orang-orang seperti itu, kebenaran menjadi rendah; tidak lagi luhur, karena rendahnya kualitas pribadi yang memonopoli atau "menguasainya" tadi.
Nampaknya persoalan agama yang inheren dengan kebenaran haruslah diubah pemaknaannya --atau konotasinya-- dan sudah saatnya dilekatkan pada ihwal rasionalitas. Karena untuk bisa beriman dan meyakini suatu kepercayaan tak lain haruslah terlebih dahulu menggunakan pikiran. Barangkali bisa dikatakan sesuatu yang gawat kalau persoalan agama dilepaskan dari ihwal rasionalitas dan hanya dipahami sebagai doktrin dogmatis belaka.
Lagipula, karena akal kita bukanlah anugerah Tuhan yang biasa-biasa saja dan bukan apa-apa. Akal sehat kita adalah sesuatu yang hebat! Akal sehat kita berimplikasi menentukan perilaku kita dan berbagai hal pada aspek-aspek kehidupan (sebagaimana sudah disebutkan bahwa manusia adalah penyebab pertama). Dan yang terutama, akal sehatlah yang dapat mengetahui atau memilah-milih baik-buruknya sesuatu pada suatu kerancuan.Â
Jadi, setidaknya kita harus tahu bahwa akal sehat mestilah selalu diasah supaya kita bisa  membedakan dan menyikapi berbagai fenomena kehidupan yang sudah sedemikian rancu ini.
Lagipula, manusia bukanlah hanya sebatas raga, dan bukan pula hanya raga beserta ruh. Yang menentukan apa dan bagaimananya seorang manusia adalah pengetahuan, pemahaman, dan segala hal pada kompleksitas akal sehatnya.
Di situ juga kita akan mengetahui seberapa sehat akal seseorang. Karena tentu ada akal yang tak sehat! Juga, akal sehatlah yang akan memfilter segala hal yang diserap indera sehingga kemudian hasil pemfilteran itu akan menentukan keyakinan seseorang, atau prinsip dan orientasi hidup seseorang. Karena keyakinan adalah muara. Dan sebuah prinsip hampirlah identik dengan kebenaran, yang di sini sifatnya subjektif.