Agama dimonopoli; digunakan sebagai sarana perjuangan hawa nafsu (ideologi). Begitu juga Tuhan, dijadikan backing untuk membenarkan perbuatan keji (semoga bukan yang terkeji di dunia).
Kebenaran bagi mereka hanya satu dan bukan sesuatu yang objektif sifatnya. Padahal semua orang pingin meraih kebenaran. Tapi bagi orang-orang yang "menguasai" kebenaran, tak ada yang lain selain kebenaran mereka selain itu adalah kesalahan, kekeliruan atau kebatilan. Ibaratnya, mata mereka hanya melihat secara hitam-putih, dan tak ada selain --atau di antara-- yang hitam-putih itu.
So... kebenaran bagi mereka hanyalah kebenaran. Kebenaran yang bukanlah ilmu bagi mereka. Karena barangkali mereka pun tak membutuhkan ilmu untuk mencapainya (atau lebih tepatnya mendekatinya).Â
Cukuplah hanya sekedar percaya buta dan janji akan kehidupan yang lebih baik (surga), yang itu pun diperoleh dengan cara yang terburu-buru. Apalagi kalau bukan bunuh diri. Maka tak perlu bicara soal rasio, karena rasio dan perasaan sudah pasti tak akan berguna lagi.
Di situlah mereka sebenarnya hanya menemukan kehidupan yang absurd. Yaitu ketika mereka sudah merasa berada di puncak segalanya, tapi ternyata mereka tak berada di pijakan mana pun.
Padahal tak ada suatu tahap atau level tertinggi dalam hidup, melainkan kita harus selalu meraihnya tanpa pernah merasa sudah mencapainya. Sayangnya mereka berpikir secara instan. Bahkan tanpa pikiran.
Bener-bener absurd. Bener-bener di luar akal sehat. Dan itu sulit dijelaskan karena tak ada penjelasan yang logis bagi orang-orang yang telah membunuh akal sehatnya sendiri. Bagi orang yang waras, yang masih berpikir secara logis, cukuplah menerima hal itu, bahwa itu terjadi di dunia ini, dan itu nyata! Robot pun tak punya akal sehat. Dia hanya melakukan apa yang telah diprogram untuknya.Â
Jadi, suatu perbuatan absurd kalau kita berargumentasi kepada sebuah robot yang tak bisa berpikir. Apa ada gunanya menasehati? Apa gunanya mengkritik? Bahkan kepada binatang pun sama saja, karena binatang hanya mengikuti naluri dan tak tahu mana benar-salahnya sesuatu.Â
Dan bukannya  manusia menjadi lebih rendah ketika tak mau tahu lagi mana benar-salah, yang itu objektif bagi kita? Bahwa kita adalah manusia. Kita tak lepas dari saran, kritik, nasehat dan lain sebagainya. Kita bukan robot dan binatang! Robot dan binatang tak butuh itu!Â
Itulah yang terjadi kalau manusia tak lagi menggunakan akal sehatnya sedangkan dia sadar terhadap perbuatannya. Padahal binatang jelas lebih baik; tak memiliki pikiran, tak tahu mana benar-salah, dan tak pernah membuat kerusakan di muka bumi. Hanya manusia yang berbuat kerusakan. Bahkan setan yang menghasut pun tak bisa disalahkan, karena "tangan pertama" atau penyebab pertama atas terjadinya sesutu di muka bumi berikut segala kemateriannya adalah manusia yang juga berwujud materi.
Secara antroposentris seperti itulah peran manusia sebagai makhluk yang sadar akan perbuatannya. Dia tahu baik-buruknya. Dia tahu konsekuensi dan pertanggungjawaban di hadapan manusia dan Tuhan. Jadi, sebenarnya tak ada suatu hal yang dihalalkan dari hawa nafsu yang sifatnya merusak --walaupun tak semua hawa nafsu itu buruk-- apalagi ketika membawa-bawa agama sebagai legitimasi.Â