Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kok Begitu Mudahnya Mengatakan "Karena Kehendak Tuhan"?

2 Mei 2018   21:00 Diperbarui: 2 Mei 2018   21:20 744
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: monikaoktora.com

Memang, tak ada yang salah kalau ada orang yang mengatakan realitas ini terjadi adalah atas kehendak Tuhan. Tapi, rasanya kita tak bisa begitu saja mengatakan demikian. Yang namanya hidup pasti ada sebab-akibat di dalamnya. Sebab-akibat atau kausalitas itulah yang mestinya kita pahami. 

Tak segampang itu mengatakan "karena kehendak Tuhan" dan mengabaikan berbagai proses yang rumit dan panjang di balik terjadinya suatu peristiwa.

Rasanya, sekarang ini, tak lagi penting untuk membahas soal takdir. Bukan artinya saya tak percaya pada takdir. Tapi, soal takdir, itu merupakan urusan Tuhan yang kita tak akan tahu sebelum kita melewati suatu masa yang sudah ditentukanNya. 

Anehnya, masih saja ada yang salah memahami takdir dengan menganalogikan diri manusia sebagai makhluk yang tak perlu berusaha dan hanya diam menunggu ketetapan Tuhan atas dirinya. Seolah-olah kita tak perlu menutup dan mengunci rumah ketika akan mudik, dan menyerahkan urusan keamanan rumah kita pada takdir. Mau dibobol maling atau tidak, ya itu takdir. Jadi, ya serahkan saja pada Tuhan; kira-kira begitu. Kalau demikian caranya, sama saja manusia tak mengenal dirinya yang diberi kebebasan bertindak dan berusaha.

Padahal usaha maupun tindakan itu merupakan hak kita sebagai manusia. Soal apakah konsekuensi atas tindakan kita nanti sesuai dengan harapan kita atau tidak, manusia harus bisa menerimanya. Karena memang tak ada lagi yang bisa dilakukan kalau ketentuan Tuhan sudah kita lewati.

Jadi, bukannya manusia sama sekali tak mengetahui takdir. Kalau misalnya sebuah rumah yang ditinggal mudik tadi didapati tetap aman sentosa dan sejahtera tanpa ada hilang setitik debu pun ketika si pemilik rumah kembali dari kampungnya, di situlah dia mengetahui takdirnya bahwa rumah tersebut dijagakan oleh Tuhan dengan mengutus seorang petugas security tak kasat mata --atau makhluk apa-lah, toh itu kan terserah-terserah Dia

Masalahnya, saat ini kayaknya harus melihat realitas kehidupan ini secara antroposentris. Bahwa apa yang terjadi pada kehidupan kita adalah karena kita sendiri yang menyebabkannya. Maksudnya, tak seharusnya kita hanya bergantung kepada Tuhan. Kalau memang kehidupan diharapkan lebih baik, caranya bukan hanya dengan menunggu Tuhan memperbaiki hidup kita.

Kita diberi hak berusaha, tapi kalau hak itu tak digunakan, Tuhan ya jelas emoh. Lha, memangnya kita ini siapa kok bisanya cuma ngomong tok? Tuhan ya gengsi. Kok malah kita yang seenaknya memerintahkan Tuhan untuk mengubah sesuatu? Memang kita harus bergantung kepadaNya. Tapi bukan secara fatalistik hanya sekedar meminta --walaupun kita tahu bahwa meminta kepadaNya hal itu adalah hak, dan hak Tuhan adalah mengabulkan permintaan kita. Tapi, sekali lagi, bukan sebagaimana kita menyuruh-nyuruh Tuhan seenak-enak cangkem kita kan?

So... si pemilik rumah yang rumahnya aman walaupun pintunya tak ditutup tadi barangkali akan bersyukur atau mungkin juga tidak. Dia bersyukur karena dia tahu bahwa itu semua memang karena kehendak Tuhan. Sebaliknya, dia tak akan bersyukur kalau menganggap hal itu sebagai sesuatu yang biasa.

Maksudnya ya biasa karena itu sudah takdir. Jadi baginya tak ada yang harus disyukuri karena baginya itu semua sudah ditentukan dan... itu merupakan sesuatu yang memang tak ada apa-apanya, biasa-biasa saja.

Mungkin saja, besok dia akan menyetir mobil sambil merem dan dengan mudahnya mengatakan: "ah... kalau sudah takdir, pasti nyampe kantor nanti bakalan selamat kok." Atau, mungkin juga dia akan mengatakan: "Ah... kalau sudah takdir, mau kecelakaan atau nggak sama sekali, itu sama saja kok. Toh, aku tak bisa berbuat apa-apa kalau semuanya sudah ditentukanNya." Ingat lho, dia mengatakan itu sambil mengendarai mobil sambil merem. Atau mungkin juga sambil tiduran lalu dia nyetir pakai kaki.

Ediaaaan! Sangiiir! Eh, sangaaarrrr! Kalau begitu kita tak usah mencari ilmu, biar Tuhan saja yang akan menentukan bodoh tidaknya kita. Kecuali, kalau memang kita memasrahkan diri untuk membiarkan Tuhan menjadikan kita bodoh atau pintar dan kita tak memang mau ambil pusing dengan hal itu.

Tapi, sikap semacam ini tak akan bisa dilakukan kecuali oleh orang yang terlebih dahulu sudah memahami kehidupan dan takdir. Jadi, sikap semacam itu juga bukan artinya tanpa ada usaha. Sikap memasrahkan diri itu kan bukan artinya sama sekali tak berbuat apa-apa. Orang yang sudah memahami takdir, dengan orang yang belum memahami takdir, tak akan sama cara memasrahkan dirinya.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun