Masih gelap di pagi itu. Matahari belum nongol dari balik ujung timur. Sepasang burung keciprit masih mengoak-ngoak berkejar-kejaran di atas langit. Yang satu jantan dan satu lagi betina. Entah si betina itu istrinya, selingkuhannya, atau apa-apanya, aku tak tahu pasti. Aku pun tak tahu kenapa disebut burung keciprit. Padahal suaranya mengoak-ngoak keras seakan-akan terdapat sebuah toak di dalam mulutnya.Â
Cuma tubuhnya saja yang berukuran segenggam tangan. Namun itu pula yang selalu bikin aku sebal, lantaran ketika burung itu terbang di atas atap rumah, seakan-akan ada pendemo yang sedang berorasi di atas langit. Pingin rasanya aku meneriaki burung itu: "Apa tak ada lagi suara lain yang kau punya selain suara ngoak-ngoak itu?!" Tapi kalau saja dia bisa bicara dan membalasku, pasti dia akan bilang: "yaaah... namanya juga udah takdir, Om. Ngoak!"
Tapi, kembali ke soal nama burung keciprit tadi, mungkin penamaan itu cuma akal-akalanku saja yang menamakan demikian. Karena tak ada pula manusia selain aku yang menamakannya demikian. Kuakui itu.
Mataku masih bertahan tidak terpejam sampai detik itu. Beberapa orang teman mengingatkan kalau aku tak boleh begadang lagi. Mereka tahu itu karena lingkar mataku yang menghitam. Kalau sudah begitu, kubilang saja ke mereka kalau itu bukan karena kebanyakan begadang, melainkan karena aku sedang pakai celak.Â
Tapi karena aku tak pandai menggunakannya, jadi kupakai secara sembarangan. Begitu dalihku kepada mereka. Sayangnya mereka banyak yang tak percaya. Maka kutambahi dengan mengatakan kalau aku memang suka pakai celak lantaran aku suka dengan style gothic-gothic yang gimanaaa gitu... Kalau sudah begitu argumenku, mereka pun pasti diam. Ocehan mereka tak terdengar lagi karena seketika itu aku pun tertidur pulas di hadapan mereka.
Aku menuju keluar rumahku untuk menghirup udara segar. Udara yang begitu sejuk, seperti biasanya. Tapi ketika udara siang begitu panas, hal demikian bukanlah sesuatu yang biasa. Kalau sudah begitu, aku suka pergi ke ATM terdekat. Berpura-pura mengambil uang, padahal aku cuma pingin ngadem karena AC di dalamnya begitu dingin. Seandainya aku bisa mandi di dalamnya, tentu aku sudah bawa satu bak air dari rumah. Juga bukannya hal itu tak bisa kulakukan, melainkan karena dilarang. Jadi aku tak mungkin melakukannya. Lagipula, orang-orang suka antri di luar ATM tadi. Aku pun tak yakin mereka cuma ingin mengambil uang. Mungkin mereka haus, dan ingin membeli es kelapa muda yang ada di dalam ATM yang penjualnya suka nongkrong di situ kalau cuaca sedang panas-panasnya.
Kututup pintu rumah yang sedari kemarin pagi-siang-sore-malam tak pernah kututup karena aku sering lupa. Dan seketika itu juga aku kaget melihat Sarimin --yang tak seperti biasanya-- sudah duduk sendirian di depan rumah majikannya yang letaknya berseberangan dengan rumahku, atau lebih tepatnya, pas di samping rumahku.
"Lho, Min. Nggak ke pasar?" tanyaku penasaran.
"U-u a-ak, u-u a-ak," jawabnya sambil menggeleng.
Ini aneh bagiku. Aku tahu Sarimin selalu pergi ke pasar setiap hari. Bahkan ketika di pasar tak ada satu orang pun pedagang, dia tetap saja berangkat. Membawa keranjang, pastinya. Mengendarai sebuah motor sport 250cc yang tak bisa ditancap secara maksimal karena... ah, kau pasti tahulah bagaimana jalanan di negeri ini.
Aku ingat bagaimana Sarimin mendapatkan motor sportnya itu yang juga digunakan untuk keperluan pementasan bersama majikannya. Bukan Sarimin yang pertama-tama menginginkan motor tersebut melainkan si bos. Pada awalnya Sarimin hanya menggunakan sepeda kecil beroda dua yang sekedar didorong-dorong tanpa pernah dinaiki.Â