Dalam hidup ini seringkali terkesan ada dua subjek di dalamnya. Kalau secara antroposentris, kitalah subjek utama itu. Tapi, kalau secara teosentris, Sang Pencipta-lah subjek utamanya. Memang, dalam beberapa kasus, kita sebagai subjek yang sadar seringkali bertentangan dengan subjektivitas Tuhan. Malah terkesan kalau Tuhan itu tak lebih dari sebuah objek.
Berapa banyak manusia yang merasa lebih hebat dari Tuhan? Tentu banyak. Padahal kalau saja kita mengetahui bagaimana Tuhan itu, kita ini justru bukan apa-apa dan tak ada apa-apanya. Tapi ya itu tadi cuma sudut pandang antara "aku"nya manusia dengan "aku"nya Tuhan.
Sebagai manusia yang sadar, subjektivitas manusia juga berperan dalam mengurusi kehidupan. Manusia memiliki tugas dan akan mempertanggungjawbkan tugas-tugasnya di muka bumi. Apakah dia sudah benar-benar menjalankannya atau malah melalaikannya, itu semua tak luput dari perhitungan Tuhan, sekecil apapun. Eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang bebas dari nilai-nilai dan ketentuan, melainkan apa yang mesti dilakukan di dunia juga mesti berdasarkan atas kehendak/perintahNya.
Seperti apa kehendak Tuhan, itu bisa ditemukan pada kitab suci atau juga bisa didapatkan melalui hati manusia, karena hati merupakan satu-satunya bagian dari diri manusia yang bisa menangkap emanasi cahaya-cahaya ketuhanan. Makanya ada istilah "hati nurani". Nurani, yang kata dasarnya adalah "nur" atau cahaya. Kalau harus dianalogikan, hati manusia ibarat langit yang transendental sifatnya.
Manusia sendiri, secara keseluruhan, ibarat kehidupan ini sendiri. Jadi, kalau manusia memiliki awal, begitu pun dengan semesta raya. Kalau manusia pasti mati, begitu pun kehidupan ini ada batasnya. Makanya seseorang yang mengenal dirinya juga akan mengenal hakikat hidup.
Soal mengenal diri ini pun tak lepas dari relasi antara manusia dengan Penciptanya. Maksudnya, hal itu juga soal bagaimana kedekatan dirinya dengan Tuhan. Bagaimana usaha untuk mendekatkan dirinya dengan Tuhan, di sinilah yang akan menentukan seberapa peka dia menangkap emanasi cahaya Tuhan. Karena, dengan menangkap kehendak Tuhan, di situ pula kesadaran akan perannya di dunia yang tak lain adalah untuk "mengeksiskan" Tuhan.
Ada manusia yang menyadari bahwa eksistensi dirinya sama sekali tak ada. Tapi maksudnya, eksistensi dirinya sendiri justru adalah eksistensi Tuhan sebagai subjek utama. Â Apalagi kalau dia selalu intens membersihkan mentalnya, sehingga cahaya ilahi tadi bisa mengisi dirinya. Sebenarnya diri manusia tak pernah sama sekali kosong dari kehendak-kehendak. Kehendak-kehendak ini pun hanya terdiri dari kehendak positif dan negatif.Â
Manusia tak memiliki kehendak pribadi yang muncul secara otentik dari dirinya sendiri. Kehendak eksternal yang cenderung negatif sifatnya, seringkali menguasai manusia sehingga manusia menjadi lalai, bahkan tak merasa kalau dirinya kalah oleh hawa nafsunya sendiri. Soal kehendak mana yang paling dominan menguasai manusia, rasanya ini tak perlu dijawab.
Soal eksistensi manusia juga tak lepas dari orientasi. Kalau dia menyadari eksistensi dan tugasnya di bumi, maka dia akan tahu kemana harus mengarahkan dirinya; apakah ke arah usaha untuk kembali pada kesucian diri yang itu merupakan fitrahnya sebagai makhluk yang suci, atau mengarah pada kerancuan dunia.
Ini pilihan, tapi bukan sekedar pilihan tanpa disadari. Buat apa harus mengorientasikan kepada kesucian atau kepada Tuhan? Orang yang tak sadar tak akan mau tahu dan hanya akan bersikap tak peduli dengan persoalan tadi. Dia tak akan berorientasi selain kepada kerancuan yang dia akan sulit untuk memisahkan diri darinya.
Sebenarnya, tidak semua kehendak selain kehendak Tuhan itu disebut hawa nafsu. Kehendak positif dan negatif tadi bisa dibedakan berdasarkan niatnya. Untuk apa seseorang melakukan suatu perbuatan? Apakah dilandasi untuk mencari keridhoan Tuhan, atau untuk selain Dia? Selanjutnya, apakah untuk kepentingan pribadi, atau orang lain? Selain ada niat juga ada unsur utilitas atau faedah yang tak bisa diabaikan didalam perbuatan kita.Â
Tak semua hal yang dilakukan untuk kepentingan pribadi pun dibilang buruk. Manusia juga tentu tak boleh begitu saja mengabaikan atau mendzalimi dirinya sendiri. Ada kepentingan primordial yang harus dipenuhi. Setidaknya, perlu-lah kiranya menikmati hidup ini asal tidak melampaui batas.
Mana yang bukan kenikmatan dalam hidup? Apapun itu, Tuhan pasti ingin memberikan yang terbaik bagi kita walaupun tak suka. Tapi menjadi manusia tak seasyik apa yang kita lihat pada iklan-iklan rokok di TV. Tugas berat menumpuk. Dunia ini bukan tempat berasyik-asyikan yang sesungguhnya. Orang macam apa yang selalu asyik-asyikan padahal dia tahu kalau ada orang-orang yang tak bisa menikmati hidup seperti hidupnya?Â
Enak bener seandainya jadi manusia yang sesuka-suka hati ngelakuin ini-itu tanpa ada pertanggungjawaban. Seandainya seperti itu hidup ini dikonsep, saya pasti sudah banyak membunuh orang yang tak saya sukai. Atau, sudah pasti saya akan memperkosa banyak perempuan. Atau, membuat kejahatan paling brutal sebrutal-brutalnya.
Kita tahu kalau ada yang namanya surga-neraka. Sekarang, di saat kita mengimani adanya hari pembalasan pun kejahatan masih terjadi dimana-mana. Bagaimana seandainya tak pernah sampai kepada kita tentang hari penghakiman dan tempat yang bernama surga-neraka itu? Saya yakin kita bisa membayangkan kayak apa jadinya dunia ini.
Memang manusia memiliki  sifat-sifat baik. Apapun keyakinannya, pasti ada di dalam dirinya keinginan untuk berbuat baik. Tapi persoalan hidup dan eksistensi kita tak bisa kita lihat secara parsial, melainkan harus dilihat secara integral, terutama dalam konteks memahami kehendak Tuhan.
Apa mungkin Tuhan memiliki kehendak buruk? Tidak layak disebut Tuhan kalau ada sifat atau niatan buruk pada DzatNya. Kita hanya seringkali tak bisa menangkap hikmah di balik suatu fenomena kalau hanya dipahami sebatas lahiriah semata. Karena untuk bisa memahami hikmah di balik semua itu pun sulit. Lantaran keterbatasan semacam itulah kita cuma bisa berprasangka positif terhadap segala fenomena kehidupan.
Tuhan tidak mungkin berniat buruk. Kalau tak ada subjek yang suci dari keburukan, yang memiliki kekurangan, yang tak sempurna, maka tak ada yang pantas disembah, dipuja, diagungkan. Dan itu adalah suatu kemustahilan yang sangat-sangat absurd. Kalau begitu, sedemikian bodohkan Dia yang menciptakan kehidupan ini? Atau justru kitalah yang paling pintar, paling tahu, paling mampu dalam segala hal? Tapi bagaimana bisa? Sedangkan untuk menentukan kita lahir di mana saja kita tak bisa.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H