Ada yang terbingung-bingung mendefinisikan agama. Barangkali karena tak menemukan titik yang tepat. Barangkali karena ihwal ketuhanan yang terlalu abstrak. Atau , barangkali karena agama tidak direlasikan ke dalam konteks sosial.
Masalah ketuhanan dalam agama memang terlalu tinggi. Untuk mengetahui bagaimana sesuatu yang pantas disebut Tuhan atau yang patut disembah saja tidak semua orang bisa memikirkannya. Belum lagi untuk mengenal DzatNya, ini ada tahapan-tahapan lebih lanjut.
Memang kebanyakan agama mengasosiasikan Sang Pencipta sebagai Tuhan. Tapi harus diketahui juga kalau agama-agama tadi mempunyai kriteria-kriteria sendiri dalam mengkonsep Sang Pencipta. Pada umumnya lantaran Sang Pencipta seringkali dicampuradukkan dengan sifat-sifat makhluk. Makanya saya tak heran kalau kemudian banyak orang keluar dari agamanya karena kriteria-kriteria ketuhanan tadi tidak sesuai dengan sifat-sifatNya yang suci dari segala sifat-sifat kemakhlukan.
Okelah itu persoalan yang akan panjang kalau dibahas. Biarlah itu menjadi soal bagi agama dan penganutnya untuk mereka mendekati Sang Pencipta dengan berbagai kriteria-kriteria konsepsional tadi. Walaupun sebenarnya ini bukan soal agama, melainkan soal benar-salahnya pikiran kita memahamiNya. Jadi memang sangat terkait dengan objektivitas rasio kita. Tapi karena agama seringkali mengklaim kebenarannya sendiri (apalagi kalau ada larangan untuk menggunakan nalar), di sinilah objektivitas kriteria-kriteria Sang Pencipta menjadi subjektif.
Maksud judul di atas sebenarnya adalah bagaimana kita memahami agama secara sosial. Bukan agama dalam kaitannya dengan ihwal ketuhanan dan peribadatan melulu, tapi juga dalam implementasinya. Karena agama adalah cara, disiplin, life-syle, aturan (bukan sekedar aturan absurd belaka) yang mesti diimplementasikan oleh orang-orang yang memahaminya dengan akal sehat dan mengimaninya sepenuh hati.
Jadi ini pun soal bagaimana sebuah umat mematuhi agama sehingga ajaran agama itu benar-benar jelas terlihat baik-buruk, benar-salahnya, dan bukan sekedar identitas saja. Ini yang paling hakiki. Tanpa kepatuhan penganutnya terhadap agama, itu sama saja nothing.
Makanya saya heran, bagaimana bisa mereka mendefinisikan agama yang abstrak kalau soal kepatuhan pun masih menjadi masalah. Kualitas kepatuhan itulah yang kemudian menjadi wujud konkret definisi agama. Apalagi dalam konteks zaman saiki, dimana kita akan sulit mencari mayoritas masyarakat yang benar-benar ketat mematuhi agama karena telah bercampur dengan berbagai watak orang lain.Â
Orang baik ada dimana-mana, begitu pun orang yang tak baik di dalamnya. Belum lagi soal apa agama yang dianut, yang sekarang penganut agama ini dan itu sudah berbaur dalam satu bangsa. Beda dengan jaman dulu. Kalau zaman dulu orang Yahudi mempunyai wilayah dan komunitasnya sendiri, begitu pun dengan Muslim dan penganut agama lain.
Tapi barangkali kebingungan atas definisi agama tadi juga tak terlepas dari persepsi seseorang terhadap agama. Agama, yang seringkali dipahami sebagai ajaran yang terpisah dari masalah kehidupan. Agama, yang hanya membahas seputar hal-hal keagamaan itu sendiri. Kalau dulu ada istilah "seni untuk seni", dalam hal keagamaan hal itu hampir sama, yaitu "agama untuk agama". Maksudnya juga bukan seperti mempolitisasi agama. Bukan seperti itu. Persepsi tentang agama tadi nyatanya keliru, lantaran agama dianggap sebagai pengekang kebebasan aktivitas seseorang.Â
Mau buat ini harus ngikutin aturan agama. Mau buat itu harus tahu hukumnya, dan lain sebagainya. Agama memang berisi aturan-aturan normatif, batas-batas yang tak harus dilanggar, tapi bukan batas yang seperti itu; yang mengekang kebebasan manusia sehingga manusia tak lagi punya kebebasan. Kalau persepsinya demikian, pantaslah kalau ada orang yang emoh beragama. Logikanya, tidak mungkin Sang Pencipta menghendaki kebebasan pada diri kita yang kemudian Dia mengekang kebebasan yang dibuatNya tadi.Â
Di sini, soal kebebasan yang bagaimana, ini pun harus dibedakan. Karena tidak semua kebebasan itu identik dengan hawa nafsu. Tidak semua pemikiran manusia itu nafsu, sampai-sampai kemudian manusianya tidak boleh berpikir. Ini jelas lucu. Manusia ya memang bebas. Semakin lucu kalau kita menafikan kebebasan ini. Walaupun dalam perspektif ketuhanan, kebebasan kita bukan sesuatu yang berada di luar kuasaNya.