Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hak dan Klaim Kebenaran yang Rasional

22 Desember 2017   22:04 Diperbarui: 22 Desember 2017   22:32 1086
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: www.mortylefkoe.com

Sampai sekarang saya masih tak habis pikir kalau ada pihak-pihak yang memonopoli kebenaran. Karena kalau sikap semacam itu masih ada, kalau dia berpikir bahwa kebenaran itu bukan hak orang lain atau penganut agama lain, di sinilah penyebab intoleransi itu akan muncul. Tapi tulisan ini memang tak ada koherensinya dengan situsi di negeri ini. Soalnya masalah-masalah begituan sudah lewat kan?

Harusnya kita memahami kalau setiap manusia, apapun agamanya, berhak untuk berpenilaian bahwa agamanya-lah yang paling benar. Itu hak setiap orang. Dan setiap orang juga berhak berpenilaian kalau agama selain agamanya memiliki kekeliruan. Tapi kebenaran memang cuma satu, yang itu hanya terdapat pada satu agama. 

Kebenaran, juga adalah hal yang objektif, kalau saja kita mau mencarinya secara rasional dan tidak terikat oleh dogma-dogma keyakinan agama kita. Itu juga karena nalar kita, rasio akal kita, bersifat universal, mandiri dan bebas. Bebas, dalam arti tidak terikat oleh dogma-dogma apapun.

Sayangnya persoalan kebenaran ini pun seringkali diklaim secara sepihak; tidak secara rasional dan argumentatif. Yang kayak gini ini yang membuat seeorang penganut agama jadi tidak dewasa dalam beragama. Di mata orang-orang seperti itu, hanya dia dan kelompoknya saja yang benar dan orang lain salah. Hal ini bisa terjadi pada banyak orang. 

Jadi bukan maksudnya menyinggung suatu umat beragama lho ya. Kembali lagi, padahal manusia memang harus berorientasi pada kebenaran, lantaran kita memang rindu pada kebenaran, terutama bagi orang-orang yang menggunakan akal sehatnya.

Karena kebenaran memanglah hanya bisa dicari secara logis dan rasional, klaim kebenaran pun mestilah bisa dipertanggungjawabkan secara rasional pula. Bagaimana kita akan menjawab kalau ada orang bertanya "apa buktinya kalau agamamu adalah agama yang paling benar?" Kita tak akan mungkin membacakan ayat-ayat suci kepada orang yang tak meyakini ayat suci tersebut.

Konstelasi zaman memang menuntut kita untuk menjadi semakin rasional. Termasuk dalam hal-hal keagamaan, juga harus rasional. Mempercayai sesuatu harus diikuti dengan analisis. Jadi tidak hanya sekedar memercayai begitu saja. Pembahasan agama pun mestinya lebih menekankan pada rasionalitas daripada doktrin-doktrin dogmatis yang sama sekali tidak membuat orang berpikir. Kalau tidak begitu, pasti seorang penganut agama akan K.O dibabat habis oleh para pemikir atau bahkan oleh para ateis.

Manusia Rasional

Persoalan keagamaan memang bermuara pada aspek teosentris. Tapi belakangan ini saya merasa agama haruslah lebih ditekankan pada hal-hal yang bersifat antroposentris. Maksudnya, ya tidak hanya sekedar ngomongin soal Tuhan melulu. Bukannya apa, karena tanpa daya kemanusiaan kita, agama pun tak akan berarti apa-apa.

Agama yang dipeluk seseorang tanpa akal sehat tak akan berorientasi pada kebenaran. Hal itu karena nalar inilah kita menjadi tahu, sehingga mengerti "kenapanya", "apanya", dan "bagaimananya" sesuatu itu.

Apakah kita cuma akan mengatakan 1+1 itu sama dengan 2? Kenapa bisa demikian? Harus ada keterangan yang jelas, yang mudah dipahami, sehingga orang yang bertanya bisa menerima penjelasan yang gamblang dari sebuah klaim atau pernyataan atau konklusi semacam itu. Dan bukan dengan  mengatakan "pokoknya 1+1=2. Tidak ada selain ini yang benar, karena cuma inilah satu-satunya yang benar!" Itulah makanya orang-orang yang sudah merasa benar sendiri lebih emosional.

Sekali lagi, kondisi saat ini memang menuntut kita untuk lebih sering-sering menggunakan akal. Bukan dalam satu aspek tertentu saja, melainkan dalam berbagai segi-segi kehidupan.

Dengan apa kita akan menyelesaikan suatu masalah? Apa kita hanya akan sekedar bertindak tanpa sebelumnya berpikir atau mempertimbangkan? Karena bagi saya, bagaimana kualitas diri seseorang --atau secara lebih luas, yaitu kualitas suatu bangsa-- tak terlepas dari seberapa sering dia menggunakan akal sehatnya dan menjaganya supaya tetap sehat.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun