Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bangsa dan Pikiran

16 Desember 2017   22:18 Diperbarui: 16 Desember 2017   23:30 976
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: www.chronicle.com

Bagaimana pun kostelasi sebuah bangsa, apakah maju atau tidak, semua itu tak terlepas dari yang namanya paradigma, cara berpikir, mindset, pola pikir, atau sebutan lain yang semisalnya. Sesuatu yang berkaitan dengan pikiran, pasti menentukan bagaimana suatu tindakan.

Tapi barangkali hal semacam itu dianggap remeh atau dianggap tidak terlalu berpengaruh dengan aspek-aspek kehidupan. Apalagi kalau yang namanya pengetahuan itu sudah diabaikan, ya sudah, lengkaplah permasalahan bangsa. Juga, kalau aktivitas kontemplasi atau berpikir tidak lagi dilakukan, entah akan jadi apa suatu bangsa. Yang jelas, pasti akan tertinggal dengan masyarakat atau bangsa yang mau terus berpikir dan belajar nun jauh di sana.

Begitu juga dengan persoalan nilai-nilai. Ini pun termasuk hal yang begitu disadari oleh orang-orang yang mau berpikir, karena dia merupakan fundamen atau prinsip dalam aspek-aspek praktis.

Tapi rasanya terlalu jauh kalau harus ngomongin aspek-aspek praktis. Gimana bisa ngomongin persoalan praktis atau tindakan kalau fundamennya saja masih banyak yang belum beres?

Juga, rasanya terlalu jauh kalau harus membahas soal agama. Apalagi kalau persoalan agama yang bersifat eksklusif, dimana perbincangan agama hanya mempersoalkan masalah-masalah agama itu sendiri. Kalau dulu kita pernah mendengar adagium "seni untuk seni", sekarang adagium itu berbunyi "agama untuk agama" --walaupun ini istilah ciptaan saya sendiri, lho ya.

Padahal hidup ini tak lain berawal dari pikir-berpikir. Begitu pun dalam meyakini suatu agama, dimana seorang penganut agama haruslah menggunakan pikirannnya untuk selalu memahami dan menganalisis agamanya. Tapi saya agak malas kalau membahas yang satu ini. Saya lebih senang membahas soal malasnya diri kita sehingga mau untuk lebih sering-sering berpikir, berkontemplasi mengenai diri kita, orang lain, bangsa ini, dan seterusnya.

Ini memang persoalan antroposentris. Tapi ini juga akan bermuara pada persoalan teosentris. Semakin sering seseorang berpikir, di situ pula dia semakin memahami. Semakin sering dia memahami, di situ pula semakin banyak pengetahuan yang didapatnya. Dan semakin tahu dia, akan semakin dekat dia pada apa yang disebut kesadaran.

Ya, ini memang soal sadar atau tidak sadar. Ini soal diri kita yang mabuk; yang tak tahu apa yang sedang terjadi pada diri kita yang ramai ini. Akhirnya kemabukan itu pun bermuara pada ketidakpedulian manusia pada nilai-nilai. Manusia hidup menabrak-nabrak sana-sini semau-maunya sendiri. Jelas, itu tanpa pengetahuan, dan yang pasti tanpa akal sehat.

Apalagi kalau sampai terjadi di negeri ini, yang mana aspek-aspek sosialnya masih terkesan tak terlepas dari agama. Yaaaah, semoga saja benar-benar tak terlepas dari agama. Artinya, ya bukan hanya sekedar omongan saja, tapi juga nyata secara praktis. Aneh, atau bahkan lucu rasanya kalau dikatakan masih berprinsip pada ihwal ketuhanan, tapi secara realitas seperti sama sekali tak bertuhan.

Pada pokoknya, sikap tak acuh pada persoalan pikir-berpikir ini juga akan berimplikasi terhadap berbagai hal dalam kehidupan. Kalau kita beragama, dipahami lagilah apakah agama memang menyuruh manusia anti untuk berpikir. Juga jangan pakai emosi, karena emosi-lah yang akan menutup rapat-rapat akal sehat kita. Kita jadi tak bisa berpikir jernih karenanya.

Okelah, saya memang tidak berhak memaksa orang lain untuk berpikir selain memiliki hak untuk sekedar mengajak.  Karena bagi saya berpikir itu adalah suatu aktivitas mental yang baik. Juga karena apa yang saya pahami dalam agama, bahwa Tuhan menyuruh kita menggunakan akal sehat dan tidak seharusnya kita mengotorinya dengan berbagai pikiran-pikiran tak berdasar atau spekulasi yang sangat jauh dari kebenaran.

Okelah kalau orang banyak pun kurang begitu memahami. Itu salah saya karena terlalu egois menyodorkan apa yang saya pikirkan, apa yang saya gelisahkan, sedangkan mereka mungkin tidak memikirkan apa yang saya pikirkan.

Tapi saya keliru kalau tidak memahami keadaan. Saya yang masih merasa belum memberikan apa-apa, akan semakin merasa demikian kalau tidak memberikan apa yang saya ketahui.

Zaman memang sudah semakin mudah. Untuk berbagi pengetahuan, opini, atau gagasan lainnya, kita gunakan saja internet. Kita harusnya tahu kalau masyarakat saat ini mesti diberikan sesuatu yang bermanfaat daripada sekedar membuang-buang quota dan menghabiskan waktu membuka konten-konten yang itu justru semakin memperparah kondisi bangsa ini.

Bukannya apa, orang yang ikut berkontribusi memperbaiki negeri ini tentu banyak. Tapi orang-orang yang berkontribusi memperparah konstelasi bangsa juga banyak. Orang-orang semacam inilah yang hanya bengak-bengok meneriaki perubahan bangsa tapi tidak merubah dirinya sendiri. Bahkan tak malu melakukan suatu penyimpangan norma-norma. 

Ya kayak yang sering viral di Youtube atau medsos-medsos itu. Begitu absurdnya orang-orang kayak gitu. Atau dengan kata lain, konsekuensi atas perbuatan mereka sebenarnya juga akan menularkan perilaku yang sama kepada orang lain yang tidak berpikir dan tidak tahu mana baik-buruk. Yang namanya hidup ini kan saling pengaruh mempengaruhi. 

Kalau yang dilihatnya baik, ya yang buruk bisa saja jadi baik. Dan kalau yang dilihatnya buruk, bisa saja dia akan tetap berada dalam keburukan --kecuali kalau Tuhan membuka kesadarannya sehingga dia menjadi orang yang tahu jalan mana yang  pantas untuk ditapaki.

Berpikir itu juga bisa menjadi semacam tameng pada diri kita --selain menjadi prinsip idealisme bagi seseorang. Banyak orang yang hanya sekedar mengekor sana-sini, tapi tak punya prinsip pribadi. 

Kalau dengan pikirannya dia menjadi berbeda dengan orang lain pada umumnya, ya itu wajar saja. Tapi kenapa harus khawatir? Biarlah orang tak paham. Nanti juga paham sendiri apa yang orang lain tak paham tadi. Ya nanti, kalau mereka sudah mulai mikir.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun