Saya sendiri kadang tak habis pikir dengan fenomena poligami. Ada saja persepsi-persepsi yang timbul dimana hal itu memang belum benar-benar akseptabel pada masyarakat kita. Ini soal budaya dan soal paradigma. Nyatanya, kita sebagai umat beragama (terutama Islam) memang harus pandai-pandai menerapkan sunah Rasul dalam konteks kehidupan di negeri ini.
Kalau seseorang memang hendak menerapkan sunah Rasul, sebenarnya hal itu harus dibarengi dengan memahami konstelasi psiko-sosial maupun nilai budaya kita. Pada hakikatnya memang tak apa-apa kalau seseorang mau benar-benar mengikuti surah Rasul. Yang menjadi masalah adalah ketika penerapannya berbenturan dengan nilai-nilai keindonesiaan.
Artinya, kalau seseorang mau menerapkan nilai-nilai kebenaran pada agama, di sisi lain dia harus mengimbangi penerapannya dengan nilai-nilai kebaikan. Tidak bisa kita seenaknya bersikap arbitrer mengabaikan nilai-nilai budaya dan paradigma sosial kontemporer. Apalagi kalau dia seorang yang paham akan agama, dia harus benar-benar bijak supaya masyarakat banyak tidak berpenilaian negatif.
Lagipula, saya rasa poligami itu memang bisa diterima pada zaman Rasulullah saw. Di sini lagi-lagi kita memang harus memahami secara kontekstual berdasarkan aspek temporal, dan tidak secara mentah-mentah menerapkan sunah Rasul pada zaman kontemporer sehingga hal itu terkesan menabrak nilai-nilai tadi.
Kalau misalnya Rasulullah menikahi banyak wanita, yang pasti kita pun tidak bisa sekedar memahami pernikahan beliau hanya dari perspektif perkawinan itu sendiri. Ada unsur-unsur intrinsik apakah itu terkait dengan aspek sosial politik, keagamaan, dan lain sebagainya.
Logiskah kalau seorang nabi yang berakhlak mulia, yang sudah dikenal sebagai al-amin (jujur, dapat dipercaya) --bahkan sejak sebelum diangkat menjadi seorang nabi-- menikahi banyak perempuan cuma karena urusan seksual belaka? Tidak. Lagipula, pada sebuah hadits pun terdapat sebuah keterangan implisit yang menyanggah spekulasi-spekulasi para Orientalis dimana mereka secara membabi-buta menuduh Nabi sebagai seorang penggila seks. Istri Nabi sendiri yang mengatakan kalau Nabi tidaklah sebagaimana lelaki pada umumnya lantaran beliau sanggup untuk menahan hawa nafsunya.
Maka urusan pernikahan bukan hanya soal seks atau hasrat. Walaupun, sebagai seorang yang belum menikah, saya sendiri berusaha memahami hikmah di balik sunah Rasul terutama dalam ihwal pernikahan tadi. Maklumlah, kita tahu sendiri kalau konotasi pernikahan dan perkawinan itu seringkali hanya dimaknai secara harfiah sebagaimana hanya melekat pada persoalan seks, seks, seks, dan seks melulu.
Aspek-aspek agama memang tidak sepenuhnya mutlak berbenturan dengan masyarakat. Tapi memang ada yang akseptabel dan juga ada yang tidak, terutama dalam hal ruang dan waktu.
Lagipula, saya menyadari sendiri kalau agama merupakan ilmu yang tinggi dimana kita harus bisa memahami hikmah dari Kitab Suci, perkataan maupun perilaku Nabi. Ada makna yang mendalam yang tidak bisa hanya diterima secara mentah-mentah asal telan begitu saja tanpa pemahaman ekstra karena kalau hal itu kita lakukan, seringkali kita terjebak dalam konservatisme.
Dan saya kira, agama diturunkan memang tidak untuk dibenturkan dan dipaksakan. Tinggal kitanya saja yang mesti pandai-pandai. Ditambah lagi, bukan suatu kepantasan kalau seseorang harus memamerkan istri-istrinya lantaran itu adalah urusan personal yang bagi saya sama sekali tak ada penting-pentingnya.
Tak penting bagi saya berapa perempuan yang bisa dimiliki seseorang. Tak penting bagi saya metodologi menciptakan keharmonisan terhadap sesama istri-istri itu. Tak penting bagi saya berasal dari mana-mana saja para istri tadi. Karena yang saya tekankan dalam tulisan ini adalah soal kepantasan walaupun poligami itu dibenarkan dalam agama.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H