Persoalan teologi mestinya lebih kita dalami, terutama dalam konteks permasalahan-permasalahan kebangsaan.
Ya, teologi memang tidak lagi membahas persoalan yang bersifat teosentris yang hanya membicarakan soal tuhan, tuhan, tuhan, dan selalu tuhan. Padahal kalau mau mengetahui Tuhan, tentunya kita juga harus membaca fenomena atau apa yang Dia ciptakan, termasuklah dalam hal kebangsaan.
Saya yakin, seandainya kita bisa bersikap terbuka dalam persoalan teologis (yang dalam Islam disebut dengan ilmu Kalam), disamping kita bisa mengetahui tentang Tuhan dan sifat-sifatNya, kita juga bisa menerima ihwal kebangsaan yang selama ini sering kita nafikan.
Rasanya lucu kalau sebagai umat beragama kita dengan mudahnya menilai kalau agama-agama lain harus dihapuskan atau dibubarkan sebagaimana pernyataan yang dikatakan seseorang. Saya yakin kalau sebenarnya orang tersebut tak memahami agama secara historis; tak memahami sikap Nabi Muhammad dalam menyikapi keberagaman agama dan penganutnya; dan yang terutama, dia tak memahami teologi yang berhubungan dengan hal kebangsaan. Sedangkan ketiga persoalan tadi merupakan pengetahuan-pengetahuan fundamental yang mestinya dipahami secara mendalam sehingga seorang Muslim tidak terperangkap ke dalam pemahaman-pemahaman harfiah atau konservatisme.
Secara historis, saya tak pernah menemukan suatu kasus dalam Islam dimana Nabi berusaha membubarkan agama-agama di Makkah, Madinah, maupun di berbagai daerah yang dikuasai Islam.
Buktinya, kalau memang Nabi tidak mementingkan persoalan kebangsaan, tentunya beliau tak akan pernah membuat Piagam Madinah yang isinya berisi tentang nilai-nilai perdamaian dan persatuan terhadap masyarakat Madinah.
Masyarakat Yahudi dan penganut agama-agama lain pada saat itu dibiarkan memeluk agama masing-masing. Artinya, agama memang tidak pernah digunakan untuk memaksakan ajarannya melainkan sekedar mengajak. Lagipula, persoalan apakah yang diajak tersebut mau untuk mengikuti lalu kemudian memeluk agama tersebut, itu pun sudah termasuk hak Tuhan dan bukan hak manusia untuk menentukan. Persoalan hak untuk menentukan inilah yang termasuk dalam persoalan teologis dimana kita barangkali kurang memahaminya.
Begitu pun ketika Nabi Muhammad memasuki kota Mekkah pada saat Fathul Makkah dimana waktu itu sama sekali tak ada upaya ofensif dari pihak Nabi walaupun beliau membawa begitu banyak pasukan. Itu pun juga untuk memurnikan kembali ajaran Nabi Ibrahim dimana beliau --sebagai bapak para nabi-- memang mengajarkan pengikut dan generasinya untuk hanya menyembah kepada Sang Pencipta saja. Jadi, Fathul Makkah dan pembersihan berhala-berhala di sekitar Ka'bah memang sesuatu yang rasional dan bersifat historis, terutama dalam konteks agama Nabi Ibrahim. Soal berhala-berhala yang ada di sekitar Ka'bah, hal demikian pun sebenarnya hanya pengada-adaan orang-orang pada saat itu yang kemudian menjadi sebuah tradisi. Karena pada saat Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail membangun Ka'bah, memang sama sekali tidak ada berhala-berhala di sekitar Ka'bah.
Kembali ke pokok permasalahan, tidak seharusnya ada seorang penganut agama yang mengatakan untuk membubarkan agama lain. Perbedaan-perbedaan agama itu pun termasuk karunia Tuhan. Kalau Dia berkehendak, tentu akan dibuatNya kita berada dalam satu agama. Atau, kalau Dia berkehendak, barangkali akan ada saatnya juga Dia akan melenyapkan agama-agama lain. Sekali lagi, persoalan seperti itu hanya hak Tuhan dan bukan urusan kita.
Dimana hak kita selain hanya sebatas berusaha? Apakah kita bisa dengan begitu sombongnya mengatakan "akulah yang menentukan segalanya"? Kalau ada pernyataan sesombong itu, yang pasti perkataan demikian hanya keluar dari mulut orang yang tak mengerti siapa dirinya. Begitupun dengan pernyataan soal membubarkan agama lain yang berdasarkan atas dasar sila pertama Pancasila, tapi tak terlepas dari subjektivitas keagamaan.
Kalau memang ada orang yang bisa menentukan segalanya (termasuk hidupnya), maka dia sudah pasti bisa memilih untuk lahir dimana, sebagai bangsa apa, berwarna kulit apa, berwajah seperti apa, atau lahir dari orangtua yang bagaimana. Apa bisa kita menentukan itu? Tidak. Kita hanya bisa menerima apa yang sudah ditentukanNya
Masalah Keagamaan
Entah karena para agamawan begitu anti dengan ilmu Kalam ini atau karena sebab apa, saya tak tahu pasti kenapa persoalan ketuhanan jarang sekali dikaitkan dengan ihwal kebangsaan.
Apa agama memang begitu alergi untuk membahas fenomena-fenomena di luar persoalan agama? Saya kira tidak demikian. Karena tentunya agama memang diturunkan tak lain juga untuk mengatasi permasalahan-permasalahan kemanusiaan, kebangsaan, maupun persoalan duniawi lainnya.
Saya kira, seperti inilah bangsa kita --sebagai bangsa yang plural-- kalau agama tidak diikutsertakan ke dalam aspek-aspek yang sudah disebutkan tadi. Apa memang agama hanya membahas soal substansi-substansi agama itu sendiri? Apa agama tidak boleh dibahas atau dikaitkan dengan hal-hal non-agamis? Apa sih visi dan misi agama  kalau bukan bermuara pada dua hal, yaitu ketuhanan dan kemanusiaan? Tapi, apakah kita memang sudah menyentuh salah satu dari dua hal tadi yang memang integral dan tak boleh dipisahkan? Saya masih harus mengambil nafas panjang tiap memikirkan yang satu ini.
Sekedar tambahan, aspek-aspek teologis memang merupakan salah satu ilmu untuk bisa mengetahui bagaimana Tuhan itu (kriteria-kriteria sifat-sifatNya) berdasarkan sumber-sumber agama, terutama Kitab Suci. Kalau seseorang mau naik lagi ke tingkat yang lebih tinggi untuk mengenal Tuhan, jalannya pun sudah lain lagi dimana dia harus melewati jalan ketakwaan yang biasanya disebut sebagai Tasawuf (pada agama Islam).[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H