Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pemerintah dan Legislatif itu Bukan Bapaknya Rakyat

4 Agustus 2017   08:19 Diperbarui: 4 Agustus 2017   09:27 1775
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ternyata masih ada yang menganggap pemerintah dan orang-orang DPR itu sebagai buapaknya. Kalau misalnya mereka buat aturan, maka mau tak mau harus dipatuhi, walaupun aturan tidak rasional sekalipun. Aneh, seolah-olah kita yang mau tak mau harus tunduk pada mereka.

Entah, entah apa yang membuat adanya pola pikir semacam itu. Mungkin itu doktrin perenial Orba yang masih berlaku sampai sekarang.

Apalagi, seringkali makna antara penguasa itu dirancukan dengan makna pemimpin. Kita ini, sebagai rakyat, maunya dikuasai atau dipimpin?

Saya tidak mau dikuasai, dan jangan gunakan kata penguasa di negeri ini.

Padahal pemerintah atau dewan perwakilan rakyat itu tak akan ada tanpa rakyat. Tapi rakyat bisa ada tanpa mereka. Mereka ada karena suatu kemestian organisasional dalam pembentukan suatu komunitas raksasa ini. Artinya, harus ada yang mengurusi rakyat, harus ada yang melayani rakyat, harus ada yang memanjakan rakyat. Rakyat berada di atas mereka. Dan mereka bukan buapaknya rakyat, lantaran rakyatlah yang melahirkan mereka.

Bapak Bangsa itu Jangan Sekedar Idiom

Tapi dengan ramainya kita, kita tak bisa begitu saja membiarkan diri ini tanpa bapak. Harus ada seseorang yang dihormati, bisa merangkul, menasehati keberagaman anasir-anasir bangsa Indonesia; dengan kata lain, harus ada seseorang yang dituakan. Sulit kita tanpa seorang bapak, karena bisa semaunya sendiri nanti.

Memang visi kita sama. Tapi tanpa ada seseorang yang mengkonvergensikan vis misi kebangsaan, kita jadi kacau. Yang satu mau caranya begini, yang satu mau pakai cara begitu. Akhirnya bentrok. Pihak orang beragama mau pakai cara agamis, pihak nasionalis mau pakai prinsip bangsa. Padahal visi misinya ya sama saja; keadilan sosial, kesejahteraan umum, pemerataan pembangunan, pendidikan, dan masih banyak lagi.

Bapak bangsa ini pun bukan siapa-siapa. Dia bukan pemerintah, bukan orang  DPR, bukan orang hukum, melainkan dia adalah bagian dari rakyat. Makanya dia tak perlu capek-capek ngurusi negara. Masak orangtuanya yang capek-capek ngurusin negara? Dan seharusnya yang memimpin jalannya motor pemerintahan itu namanya pemimpin pemerintahan dan bukan pemimpin negara. Presiden dan pemerintah itu kan ditugasi? DPR itu kan ditugasi? Mereka ditugaskan sebagaimana kehendak rakyat, dan tak boleh tugas mereka bertentangan dengan kehendak rakyat.

Makanya kita ini tak punya orangtua, tak punya seorang bapak. Bapak bangsa yang disematkan pada negarawan-negarawan itu cuma idiom. Masak yang namanya bapak bangsa tidak dihormati? Bapak bangsa harus punya sifat kepemimpinan. Lagipula, masak bapak bangsanya ada banyak? Harusnya ya cuma satu. Nyatanya, kita hanya memilih, menugaskan presiden, mengatakan dia sebagai pemimpin, tapi seringkali kita mengabaikan kata-katanya. Itupun dipilihkan sama parpol-parpol. Parpol yang satu maunya figur  ini, parpol lain maunya figur itu. Masalahnya, apa figur ini-itu tadi memang juga merupakan kehendak rakyat?

Jadi kita memang tak punya pemimpin yang bener-bener dipatuhi, dihormati, disegani, melainkan itu semua cuma label. Pola pikir kita masih pada persoalan identitas dan belum pada persoalan sifat.[]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun