Gila! Seorang cerdas di sana memahami dengan sadisnya kalau kebodohan yang dialami seseorang itu merupakan ketetapan Tuhan sehingga kita tak bisa merubahnya dengan cara apapun. Gila!
Saya tak tahu itu ungkapan sikap berserah diri, atau ungkapan pasrah. Tapi yang pasti, yang namanya berserah diri dengan pasrah itu beda. Berserah diri dengan ketetapan Tuhan, itu maknanya adalah tetap melakukan perubahan walaupun tanpa pernah memikirkan hasilnya; jadi, ya usaha terus menerus. Sedangkan pasrah itu adalah suatu usaha yang berakhir pada sikap menyerah. Barangkali pernyataan di atas lebih mengarah pada sikap pasrah yang fatalistik.
Kebodohan itu memang ditanamkan Tuhan pada sebagian dari kita. Tapi masak kita hanya membiarkan kebodohan itu terjadi? Saya jadi bertanya: Woi, apa tak punya rasa kemanusiaan? Artinya, Tuhan menciptakan kebodohan memang tak lain adalah untuk kita melakukan perubahan, walaupun perubahan itu tak tahu kapan akan disetujui Tuhan. Begitu pun terhadap nilai-nilai yang lain.
Pendidikan itu adalah suatu usaha untuk merubah kebodohan yang terjadi di masyarakat. Anehnya, karena pandangan tadi seolah-olah orang yang mengalami kebodohan itu tak punya tempat di masyarakat dan tak boleh ikut dalam arus perubahan. Ini aneh. Ini tak wajar. Ini tragis! Seolah-olah tak ada rasa kemanusiaan untuk mengikutsertakan mereka dan membiarkan mereka, atau membuang mereka.
Tak apa, sekolah itu bukan satu-satunya jalan untuk mendapatkan pendidikan. Lha, buktinya masyarakat dunia yang sekarang sudah bisa bersekolah ini kan menganut agama orang-orang yang tak pernah sekolah?
Berpikir itu adalah salah satu kognisi, disamping berolah-rasa. Dulu para filsuf mengajarkan muridnya dengan metode parepatetik. Jadi, mereka jalan-jalan berkeliling untuk menganalisis, bertanya, dan memikirkan fenomena-fenomena. Tidak kayak sekarang dimana para murid disuruh untuk menghafal dan mengimani penemuan-penemuan para ilmuwan. Tidak ada kritik, melainkan cuma diterima begitu saja.
Padahal yang namanya ilmu-ilmu sekarang ini pada awalnya bermula dari aktivitas berpikir. Mereka bertanya, berpikir, menganalisis, bersentuhan dengan materi, lalu kemudian membuat teori maupun disiplinnya sehingga kemudian menjadi sebuah anatomi dalam suatu bidang ilmu.
Setiap orang bisa berpikir --tergantung mau atau tidaknya. Saya yakin inilah yang sangat berpotensi menjadi titik awal seseorang untuk berangkat dari kubangan kebodohannya. Lha, daripada cuma mengimani ilmu-ilmu tadi, ngapain coba? Memangnya sudah pasti bener tuh yang dipelajari?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H