Sudah lama saya tak baca novel. Dan begitu baca novel Tuan Ken(tut) karya FX Rudy Gunawan, saya jadi rakus, lahap membacanya dari malam sampai ke pagi, kurang dari 12 jam.
Saya memang tak pandai membaca novel. Saya tak pandai memahami secara hermeneutik tentang apa-apa saja yang ada pada novel. Beda dengan ketika membaca buku sejarah atau buku yang berisi tentang pemikiran orang lain, di situ otak saya bekerja, menganalisis dan berdialektika dengan substansi buku itu. Sedangkan kalau baca novel, yang ada saya hanya mengikuti alur cerita dan meninggalkan kesan di bagian akhir. Saya akui memang saya tak pandai membaca novel.
Anehnya, baru pada novel ini saya menemukan sesuatu yang bikin otak saya muter-muter dan hampir terjebak dalam siklus lingkaran setan.
Di halaman 247 tertulis:
Ya, banyak warga yang kini tak segan-segan kentut saat kumpul bersama Ken dalam acara apa pun. Tapi, kentut mereka tak ada yang menggubris. Dewa Kentut ada bersama mereka, bagaimana bisa kentut rakyat jelata digubris? Paling orang-orang hanya melirik dan mencibir, "halah, kentut gak mutu!" Lirikan mereka sebenarnya sudah menegaskan hal yang sama, "haduh, malu-maluin aja, pakai kentut segala di depan Dewa Kentut! Kentutmu itu nothing, tahuu!"
Pada paragraf selanjutnya:
Dalam sebuah obrolan di pos ronda, pernah ada orang melontarkan ide gila; membuat duel kentut untuk menghormati Pak Ken. Semua yang hadir di pos ronda waktu itu menyambut baik ide gila itu. Mereka sepakat jika bisa membuat kentut mereka berbau busuk dalam 3 hari, lomba itu akan diadakan.
Mungkin ini terlalu serius. Karena dari paragraf di atas tadilah muncul pertanyaan: gimana bisa nilai-nilai yang dianggap memalukan atau tabu sebagaimana bau busuknya kentut itu kemudian menjadi suatu kesenangan sampai orang-orang tak lagi malu? Pakai diadakan lomba pula lagi.
Masalahnya terletak pada kentut yang bau busuknya tidak begitu merugikan lantaran cuma numpang lewat di depan hidung. Beda dengan korupsi, pencuri dan semacamnya yang memang merugikan secara nyata. Kalau cuma karena bau kentut, paling kita cuma nutup hidung, atau paling banter marah-marah sebentar yang itu pun tak tahu mau marah pada siapa karena pelakunya juga tak diketahui. Jadi, di sini yang ditekankan adalah soal nilainya.
Ya, kita tahu kalau persoalan kentut ini sangat konotatif sifatnya. Artinya, walaupun cuma disebut kata kentut  saja pikiran kita sudah mengarah pada sesuatu yang umum di kepala kita. Terus, gimana pula kalau sudah masuk pada persoalan baunya yang busuk itu?
Jadi, ada semacam nilai yang dijungkirbalikkan pada kutipan paragraf tadi. Bau busuk kentut menjadi sesuatu yang tak lagi memalukan, bahkan terkonversi menjadi suatu kesenangan dan kebanggaan ketika Anda mengeluarkan bau kentut yang mambune ora ketulungan. Kok bisa begitu?
Seandainya saya tak menyadari faktor-faktornya, saya pasti akan kebingungan dan terjebak dalam siklus lingkaran setan. Tapi kemudian saya mulai menyadari kalau penjungkirbalikkan nilai-nilai tadi memang memiliki faktor-faktor penentu. Artinya, sesuatu yang mustahil itu pasti terjadi lantaran ada faktor X; faktor tertentu yang tak umum yang sangat menentukan.
Itu bisa terjadi kalau si Dewa Kentut tadi adalah sosok Pak Ken, yaitu seorang sarjana S2 yang berhasil mengatasi permasalahan pendidikan di kampung kumuh tempatnya tinggalnya dimana dia juga memiliki keberadaan secara ekonomi dibandingkan penduduk kampung lainnya. Dia dielu-elukan, dianggap pahlawan karena berhasil mencerahkan wajah kampungnya lantaran sekolah yang didirikan di kampungnya tadi mendapat sorotan media dan penghargaan dari gubernur.
Coba bandingkan dan imajikan seandainya yang punya kentut busuk itu Pak Toha. Pak Toha, seorang pemulung yang ingatan dan pikirannya kacau karena gegar otak. Pak Toha gegar otak gara-gara dituduh maling dan dipukuli ramai-ramai di sebuah kompleks perumahaan mewah beberapa tahun lalu. Ia hampir mati ketika itu. Kepalanya bocor di bagian belakang, tulang hidung retak, bibir pecah, kedua pipinya bengkak, dada lebam, sekujur punggung memar, dan paha kirinya robek menganga disabet golok (hal 6-7).
Siapa Pak Toha? Apa yang sudah dilakukannya untuk kampungnya selain mampu melucu disebabkan otaknya yang agak korslet tadi? Bayangkan saja kalau seorang yang bukan siapa-siapa itu kentut dengan bau sedemikian busuk. Bakalan dihina, dicaci maki, dan lain sebagainya.
Jadi, memang suatu kemustahilan yang seringkali terkesan absurd itu bisa terjadi karena faktor-faktor tertentu. Karena kalau kita tidak tahu faktor-faktornya, pasti yang ada cuma sesuatu yang absurd. Sekali lagi, coba bayangkan seandainya suatu lomba kentut busuk diadakan cuma karena yang punya kentut busuk itu seorang pemulung miskin dan bukan siapa-siapa. Buat apa? Apa gunanya? Apa yang mau dihargai? Manusianya saja tak ada special-specialnya kok, apalagi dengan kentutnya. Artinya, pengecualian seperti penjukirbalikkan nilai-nilai itu pun memang ada dan terjadi pada hidup kita yang sebenarnya. Dan itu bisa terjadi karena faktor "ada apanya".
Kecuali, kalau Pak Toha telah berbuat sebagaimana Pak Iyat, seorang gelandangan tua yang telah mengubah dua orang pengangguran menjadi tukang bangunan yang terampil. Ya, inilah pengecualiannya. Karena Pak Iyat jugalah Pak Ken menjadi termotivasi, dimana gelandangan tua ini pun begitu dihormati oleh Pak Ken walau perjumpaan dengannya cuma berlangsung kurang dari 60 detik, lantaran Pak Iyat kemudian meninggal. Di akhir hidup Pak Iyat itulah Ken justru memulai gerak perubahannya.
Masalahnya, penjungkirbalikkan nilai-nilai semacam ini juga mengarah ke sana. Yaitu, bagaimana bisa pemimpin-pemimpin yang katanya memimpin wakil rakyat itu dijabat oleh "setan-setan"? Nah, faktor penentunya ini yang jadi inti permasalahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H