Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Memaknai Ego yang Baik

25 April 2017   17:35 Diperbarui: 26 April 2017   06:00 1885
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Ilustrasi | sumber gambar: www.growthguided.com"][/caption]

Ketika kita bicara soal ego, hal ini mungkin masih sering dikonotasikan negatif; bisa itu terkait dengan kesombongan, keangkuhan, nafsu, dan lain sebagainya.

Saya sendiri kadang berpikir, bahwa tidak mungkin kita dapat menghilangkan ego kita. Ego itu apa sih? Apa ego itu hanya dimaknai sebagai sesuatu yang kita ketahui selama ini? Kalau ego yang semacam itu yang kita ketahui, pastinya itu bukan merupakan makna ego yang sebenarnya. Padahal kalau mau kita mau memahami, sebenarnya ego itu sendiri tidak lain adalah upaya pengontrolan diri. Dari hal itu, saya rasa ego yang selama ini kita pahami tadi hanyalah suatu sikap merendahkan atau superioritas terhadap orang lain demi kepentingan pribadi. Atau dengan kata lain, manifestasi ego tadi hanyalah sikap mengontrol orang lain dan bukan diri sendiri.

Dari hal itu mestinya pemaknaan egoisme tersebut bisa diubah dan orientasikan kepada persoalan individu. Diri ini sendiri mesti dikontrol dari segala hal, termasuk hawa nafsu mementingkan diri itu sendiri. Masalahnya, siapa lagi yang akan mengontrol diri kita dari sikap berlebihan kalau bukan personalitas diri kita? Jadi bisa dikatakan ada ego di dalam ego yang sebenarnya tidak lain hanyalah hawa nafsu.

Dari nafsu tadilah kita nyatanya seringkali bersikap meminta daripada memberi. Kita mensubordinasi orang lain, maka kita memerintahkan orang tersebut berbuat sesuatu untuk kepentingan diri kita. Dan saya kira, bahwa yang namanya ego itu pasti baik. Tapi bagaimana dan untuk apa kita menggunakan keakuan kita, di situlah kita menjadi buruk sebagaimana kita ketahui pada contoh-contoh tadi.

Di sisi lain, saya kira aspek spiritualitas pada diri seseorang pun sangat berpengaruh. Manusia, tentunya harus melihat dirinya secara internal untuk kemudian melihat dunia. Manusia harus terlebih dahulu mengenal dirinya dengan segala kelebihan maupun kekurangan itu untuk bisa menyikapi persoalan eksternal. Saya kira orang yang tak mengetahui hal ini akan berestimasi bahwa dunia beserta segala isinya mestilah ditaklukkan dan bukannya dikasihi. Seolah-olah apa yang di luar kita ini semuanya adalah lawan vis a vis dengan kita; apakah itu alam, bahkan orang-orang di sekitar kita. Tidak, orang-orang yang berpemahaman seperti itu adalah orang-orang yang belum mengenal dirinya, yang berarti, dia juga tentu belum mengenal dunia. Padahal, kalau saja mereka tahu, bahwa dunia ini sendiri adalah sebagaimana diri mereka. Dengan kata lain, dunia ini punya watak, konstelasi, maupun nilai-nilai sebagaimana juga pada diri manusia. Dan nyatanya, mengenal diri sendiri bisa dikatakan merupakan suatu fundamen pengetahuan primordial yang sangat penting.

Lagipula, manusia adalah makhluk multidimensional. Dia mesti berurusan dengan dunia; menegakkan nilai-nilai ketuhanan; menjalankan visi atas kesadarannya untuk mengurus dunia dan berperang melawan kebatilan, tapi di sisi lain, dia juga mesti intens menyelami dirinya. Jadi manusia itu memang repot dan tak mudah kalau saja kita mengetahui hakikat eksistensial diri kita. Sayangnya, mungkin hal ini pun sudah tidak kita sadari lantaran kondisi saat ini sudah begitu menidurkan kita dalam kenikmatan-kenikmatan sekuler.

Akhirnya, kita bisa saksikan bagaimana persoalan egoisme ini sedemikian masif. Sebuah iklan rokok secara blak-blakan mendoktrinasi kita untuk menjadi liar, menjadi manusia bebas, atau dalam arti yang lebih luas, yakni menjadi manusia yang tak tahu diri di depan orang lain. Begitu pun iklan-iklan lain yang tak tahu malu menyuruh kita untuk membeli ini-itu padahal orang-orang yang nonton di rumah juga belum tentu bisa membeli makan atau pakaian.

Saya mau mengatakan apalagi kalau hal demikian merupakan suatu kekurangajaran kita? Itu semua dilakukan tanpa pakai pertimbangan dan pemikiran terkait dampaknya bagi perasaan orang lain. Logikanya, kalau memang apa yang kita lakukan hanya untuk kepentingan pribadi semata, sebuah pertimbangan bahkan nilai-nilai etika dan. moral pun diabaikan. Ini klise dan menjadi sesuatu yang diwajarkan, padahal kita pun sama-sama tahu bahwa itu bukanlah suatu kewajaran. Tapi, nampaknya saya memang harus bertanya lagi: apakah kita memang masih tahu dan menyadari hal itu?

Rasanya persoalan kemanusiaan memang semakin kompleks. Dalam arti, di samping kita mesti bisa mengontrol diri dari keliaran diri itu, kita juga mesti bisa mengontrol diri dari kehendak-kehendak yang ditanamkan pihak lain kepada kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun