[caption caption="Ilustrasi | sumber gambar: weknownyourdreamz.com"][/caption]Kenapa mesti surga? Kenapa manusia begitu menginginkan surga? Emang ada apa sih di sana nanti? Kalau cuma kenikmatan, di bumi ini juga ada kok. Jadi kalau memang mau berorientasi pada kenikmatan atau hedonisme, kenapa harus nunggu masuk surga dan menjalani hidup asketis/zuhud? Ini kenikmatan sudah di depan mata, lho.
Saya tak tahu apa pertanyaan di atas pernah nangkring di kepala setiap orang. Tapi yang jelas, kalau memang orang-orang tahu jawaban dari pertanyaan di atas, saya kira jawabannya mungkin belum tentu tepat atau katakanlah absurd.
Memang, kalau seseorang hanya mengorientasikan dirinya untuk memperoleh surga, bagi saya hal itu belum benar-benar merupakan suatu kejelasan. Surga dan kenikmatannya semata hanyalah absurditas yang kosong walaupun Tuhan sudah menjanjikannya kepada kita semua. Tapi mungkin banyak di antara kita yang tak tahu hal paling penting apa yang ada di surga, disamping persoalan kenikmatannya tadi.
Sebenarnya bukan surga yang menjadi tujuan utama manusia. Terus, apa? Tentu tak lain jawabannya adalah pertemuan dengan Sang Pencipta yang kita sembah. Jadi kalaupun misalnya manusia nanti hanya bisa melihat Tuhan di neraka, ya saya mendingan pilih masuk neraka. Tapi kan kenyataannya tidak seperti itu; melainkan momen pertemuan denganNya hanya terjadi di surga.
Bagi saya pribadi, bisa dikatakan momen pertemuan denganNya atau melihat Dia, itu merupakan suatu kenikmatan atau kebahagiaan utama di samping kenikmatan surga yang sudah kita ketahui. Surga itu nikmat? Ya, surga itu nikmat dan kita begitu menginginkannya. Bahkan kalaupun kita mencemooh kehidupan saat ini yang keadaannya centang-prenang dan mengharapkan keadaan yang baik secara mutlak, dari hal demikian sebenarnya secara tidak langsung kita sudah mendambakan surga. Dan Tuhan tentu tahu bahwa kita begitu menginginkan kehidupan seperti itu. Cuma masalahnya, kita disuruh bersabar karena kehidupan yang seperti tadi memang tidak ada di dunia ini. Permasalahan yang satu ini pun sebenarnya sudah saya tulis pada artikel berikut: Mempertanyakan Surga
Sekarang, kalaupun saya mesti berandai-andai membayangkan kalau saja pertemuan itu tidak terjadi di surga melainkan di neraka; hal ini pun rasanya benar-benar absurd. Dan nyatanya, ketika kita kaitkan dengan konteks agama, rasanya memang sudah sepantasnya kalau agama itu diturunkan kepada kita yakni sebagai jalan untuk bermuara pada pertemuan denganNya. Makanya Dia pun menyuruh kita untuk patuh pada perintahNya. Kalau Dia menyuruh kita melakukan kebaikan, beribadah dan lain sebagainya, ya lebih baik dipatuhi. Kalau Dia melarang untuk tidak mencuri, berzina, berbuat keburukan dan lain sebagainya, ya patuhi saja. Lagian, Tuhan mau ngasih yang baik-baik kok kepada kita.
Di lain hal, kalau kita mau untuk merasionalisasi aspek-aspek keimanan atas keyakinan kita, sebenarnya hal itu pun bukan sesuatu yang mesti diimani begitu saja secara buta. Apa hal itu rasional? Tentu rasional dan tidak akan bertentangan dengan akal sehat kalau kita memikirkannya secara logis dan benar. Bahkan sebenarnya perkara tentang surga-neraka itu sendiri sudah ada di kepala kita dimana hal itu merupakan harapan kita, sebagaimana saya katakan tadi. Cuma, lantaran unsur-unsur keimanan itu terkesan berada di luar diri kita disebabkan faktor dogmatis atau faktor lain, maka tentu ada kecenderungan untuk menolaknya.
Tapi, kembali pada perihal pertemuan dengan Tuhan, rasanya kita tak pantas untuk berandai-andai di luar informasi yang kita terima dariNya (agama). Soalnya, kadang-kadang saya pun suka berimajinasi dan tidak lain hanya menemukan ketidakjelasan atau absurditas. Dari hal itulah saya semakin meyakini bahwa apa yang diturunkan Tuhan, itu adalah konklusi yang tidak bisa ditemukan oleh rasio manusia betapapun canggihnya. Dalam arti, bahwa akal manusia tidak akan bisa menciptakan konsepsi sebagaimana apa yang ada pada agama.
 Tapi, di sisi lain, ketika kita mau memahami agama, justru kita akan menemukan apa yang kita cari. Jadi, bagi saya, iman itu memang di atas akal. Dengan kata lain, bahwa iman itu diperoleh atas dasar-dasar rasional dan bukan kepercayaan buta. Bukannya kita memang menginginkan agama itu mesti rasional? Silahkan saja kalau mau memahami keyakinan tersebut secara rasional berdasarkan akal sehat. Tapi di samping itu, orientasi utama kita juga mestinya jangan diabaikan. Tuhanlah orientasi utama itu. Dia yang menciptakan, dan kepadaNya juga setiap manusia akan kembali.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H