Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Agama, Ya Mesti Sekuler

11 April 2017   21:39 Diperbarui: 11 April 2017   21:41 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya tak tahu apa masih ada pandangan kalau agama itu mesti terpisah dari aspek sekuler. Mungkin bagi saya pandangan semacam ini terkesan lucu kalau dilihat dari utilitas agama sebagai prinsip hidup. Jadi, apa iya kalau agama memang sama sekali terpisah dari aspek duniawi, bahkan dari aspek yang sama sekali tidak terkait dengan nilai-nilai keagamaan? 

Atau dengan kata lain, apa iya kalau seorang yang beragama (dan bertuhan) mesti memisahkan diri dari sibuknya kehidupan dan hanya memiliki kepentingan berdiam diri di rumah ibadah atau sibuk mabuk bersama Tuhan? Lalu, di saat nilai-nilai dan pengetahuan saat ini sudah sedemikian dirancukan dan diabaikan, lantas siapa lagi yang bertindak menanamkan nilai-nilai tadi kepada masyarakat? Siapa? Apa pengetahuan atau nilai-nilai keagamaan tadi hanya untuk kepentingan kaum beragama sendiri?

Ditambah lagi, mungkin juga masih banyak orang mengira kalau persoalan agama itu hanya relevan dengan hal-hal batiniah, rohaniah, spiritual dan lain sebagainya. Atau dengan kata lain, persoalan keagamaan menjadi sesuatu yang tidak umum atau eksklusif atau tidak populer. Apalagi kalau itu terkait dengan mistisisme, yang dalam Islam hal ini sangat inheren dengan usaha mendekatkan diri atau ketakwaan, kepatuhan kepada Tuhan, pun mungkin hanya sedikit orang mengetahuinya.

Dari hal semacam tadilah saya jadi berandai-andai dan suka tenggelam dalam imajinasi tak berguna. Saya suka mengandaikan bagaimana kalau nilai-nilai ketuhanan semacam ini menjadi sesuatu yang populer tapi tetap mempertahankan esensinya; dalam arti, dia tidak menjadi sesuatu yang komersil dan tidak dianggap sebagaimana trend belaka. 

Saya maklumlah kalau ihwal keagamaan semacam itu sudah dikaitkan dengan persoalan komersial, sampai-sampai esensi dan nilai utilitas atau bahkan etikanya pun diabaikan. Kalau memang mau menjadikan hal itu populer, ya silahkan. Tapi masalahnya, maunya ya jangan hanya ditonjolkan nilai estetisnya demi keuntungan semata. Kalau itu terjadi, akhirnya kita bisa lihat bagaimana orang-orang hanya sekedar mengikuti tanpa tahu faedah dalam suatu fenomena.

Memang, sinkretisasi agama dengan kehidupan sekuler ini akan sulit terjadi kalau seseorang masih mempolarisasinya dan masih terikat dengan term-term atau identitas keagamaan. Padahal kita hidup di dunia yang universal. Dalam sejarah manusia dan keagamaan sendiri memang persoalan keagamaan semacam itu dulu menjadi semacam permasalahan dalam konteks keyakinan sampai-sampai masyarakatnya mesti hidup dalam komunitas keagamaan; orang Islam ya hidupnya di wilayah orang Islam, orang Yahudi di wilayah Yahudi, dan lain sebagainya.

Kalau kita masih bersikap seperti itu sampai saat ini, saya rasa agama atau mistisisme itu tidak akan pernah menjadi sesuatu yang populer dan dikenal karena pola hidup yang tertutup. Memang globalisasi pun sudah sedemikian masif dan tak terelakkan. Tapi saya kira, di sinilah kita mesti pintar-pintar dalam memilah dan memilih mana yang baik dan mana yang buruk, terutama dalam konteks keyakinan. Maklumlah, orientasi kita terhadap Tuhan saat ini sudah sedemikian diganggu oleh permasalahan sekuleritas. Tak apa-apa; saya kira disinilah perjuangan seseorang justru semakin berat dan pastinya imbalannya pun akan semakin besar untuk perjuangan menghadapi gangguan-gangguan semacam tadi.

Di sisi lain, saya justru berkeyakinan bahwa agama memang mesti sekuler. Dalam arti, bahwa agama mesti menjangkau segala aspek kehidupan seperti halnya sinkretisasi tadi. Bukannya dalam segala dimensi kehidupan, kita selalu berhubungan dengan nilai-nilai dan tak akan pernah terlepas darinya? Lagi pula, saya sendiri yakin bahwa agama itu sendiri (apapun agamanya) pasti mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan yang universal kepada penganutnya. 

Bisa itu terkait dengan persoalan etika, norma, pranata sosial, nilai kebijaksanaan, toleransi, dan lain sebagainya. Kalau pun ada sesuatu yang salah, tentu kesalahan itu terjadi pada manusianya yang bisa keliru dalam memahami agamanya sendiri. Saya pribadi sangat berpenilaian positif terhadap ajaran agama lain, walaupun tidak dalam ihwal keyakinan. 

Dalam arti, bahwa agama tentu baik jika kita memandangnya secara antroposentris. Dan di sisi lain, orang yang suka menilai agama orang lain buruk, adalah orang yang melihat agama dari sisi keyakinan. Pastinya cara pandang seperti itu akan mengakibatkan sikap intoleran. Saya sih maunya kita bisa lebih pintar memandang perbedaan keyakinan dari sisi kemanusiaan saja; dari perspektif kita sebagai manusia. Dan kalau Tuhan mengatakan bahwa orang-orang beragama lain itu sesat, kafir dan lain sebagainya, itu cukup menjadi pengetahuan bagi diri sendiri. 

Lagian, kalau bagi saya pribadi, pun tak ada untungnya untuk saya mengatakan seperti itu. Saya manusia, dia manusia, dan Anda sekalian manusia. Soal keyakinan, itu urusan personal dan tak usah diganggu gugat. Lagi-lagi, nampaknya kita memang mesti membawa nilai utilitas itu kemana-mana.[]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun