[caption caption="Ilustrasi | sumber gambar: www.berdikarionline.com"][/caption]
Kalau ada manusia di sana yang bertanya kenapa intelek dan spiritualitas kita kurang berkualitas, saya kira kita bisa mengatakan kepada mereka dengan jawaban "kami begini keadaannya lantaran orientasi hidup terhadap Tuhan telah dikaburkan oleh persoalan doktrinal yang membuat kami jadi ketakutan." Ya, seperti judul di atas.
Maklumlah, persoalan hidup kita saat ini kan mesti diurusi masing-masing? Tak seperti negeri di sana yang katanya tak perlu kerja bisa dapat duit. Ini denger-denger saja sih. Toh saya juga belum pernah keluar kampung.
Tapi saya pun tak pernah tahu kapan paradigma doktrinal itu ditanamkan sehingga menjadi semacam dogma. Katanya kalau tak sarjana, susah dapat kerja. Kalau tak kerja, tak dapat uang. Terus kalau tak dapat uang, berarti miskin alias kere. Makanya di sinilah saya kira upaya menakut-nakuti itu menjalar-jalar sehingga kita disibukkan oleh kegiatan "memyambung hidup". Saya tidak mengatakan ini sebagai suatu kesalahan atau keburukan. Tidak demikian maksudnya. Dan belum lagi selesai ditakuti oleh ancaman kemiskinan, terus kita ditakuti pula dengan persoalan global. Siapa sih yang mau dibilang ketinggalan zaman? Siapa sih yang mau dibilang kampungan, gaptek, dlsbnya? Terus, gimana caranya supaya kita tidak dikatakan gaptek atau kampungan macam tadi? Saya kira tak usah saya jawablah ya...
Apalagi yang namanya aspek intelektual dan spiritual itu kan inheren dengan aspek kebijaksanaan. Tapi dari hal ini, jujur saya masih tak paham kenapa teman-teman bergelar sarjana agak susah diajak diskusi. Kira-kira kenapa ya? Saya mungkin apriori kalau mengatakan bahwa nilai-nilai kebijaksanaan kurang diajarkan di sekolah, lantaran yang lebih diprioritaskan adalah aspek keahliannya. Dalam arti, apakah nilai kebijaksanaan itu mesti kita cari sendiri? Okelah, kalau begitu biar Tuhan saja yang menanamkan sikap bijak itu secara langsung kepada kita. Biar Tuhan yang memanggil orang-orang itu untuk mengorientasikan pandangannya kepada Dia sehingga kemudian ketakutan-ketakutan tadi pun Dia juga yang akan melenyapkannya.
Lagian, siapa sih yang bisa menghilangkan ketakutan-ketakutan semacam itu kalau bukan Dia sendiri? Soalnya sudah sedemikian mengakar, lho. Ibarat kayak karat yang nempel di besi, sehingga besi itu kemudian rapuh dan mudah dipatahkan.
Okelah kalau memang negeri ini mau maju. Silahkan, saya dukung. Tapi jangan apa-apanya semua terikat dengan uang dong. Seolah kita mesti berkorban mati-matian untuk mendapatkan aspek-aspek primordial tadi dengan uang yang nilainya sekian dan sekian. Soal rela atau ikhlasnya, itu urusan personal-lah. Gimana kita mau maju kalau segi-segi paling primordial dalam hidup kita saja masih begitu keadaannya? Pengetahuan atau pendidikan dibilang penting, tapi masih ada anak-anak kecil yang cari duit di luar sana. Lha, terus cari ilmunya, cari pengetahuannya, kapan? Kalaupun ada yang sekolah sambil nyambi, saya pun jadi makin salut karena berarti di tengah keadaan yang seperti itu mereka sudah diajarkan untuk bersikap bijak dan moderat. Dalam arti, ya harus pintar-pintar membagi waktu dlsbnya.
Tapi saya sih sebenarnya lebih concern pada hal-hal doktrinal semacam tadi. Ibaratnya, ketika seorang bayi baru lahir dia langsung dibisiki untuk langsung cari uang. "Nak, kepentingan hidupmu itu untuk cari uang, nak... Kalau nggak cari uang nanti kamu miskin; nanti kamu nggak hidup. Soal nilai-nilai etika, moral, agama, atau Tuhan, itu tidak lagi jadi prioritas utama di saat sekarang ini." Hiperbolis-kah? Silahkan kalau mau menilai demikian.
Jadi sebenarnya dimana sih kita letakkan nilai-nilai asasi itu? Sebenarnya kita ini hidup mau ngapain? Tak tahulah akan ada ketakutan-ketakutan apa lagi yang akan muncul kedepannya? Nanti malah dibilinagi "Sekarang di zaman modern ini semua orang mesti begini! Semua orang wajib begini-begitu!" Kompleks bener hidup di zaman ini kalau mesti terikat oleh hal-hal sistemik semacam itu. Atau dengan kata lain, kita berurusan dengan kewajiban-kewajiban yang mengharuskan kita untuk melakukan kewajiban-kewajiban yang kalau kita tidak lakukan kewajiban-kewajiban yang menjadi kewajiban-kewajiban tersebut, akan berakibat malapetaka bagi kita. Kita dibilang tidak hidup; kita dibilang tak jadi orang! Saya masih bingung, apa sih maksud idiom "tak jadi orang" tadi?
Apakah persepsi makna "jadi orang" itu sekarang sudah berbeda ya? Apa yang namanya jadi orang itu mesti kaya ya? Mesti punya materi, pangkat, jabatan ini-itu ya? Nah, lho, soal kewajiban lagi kan? Ah, soal kewajiban-kewajiban atau prioritas ini, di kepala saya dan di kepala Anda maupun di kepala orang lain mungkin maknanya sudah berbeda-beda. Yang penting namanya kewajiban-lah ya. Satu kata tapi berbeda makna, kan begitu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H