Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menikmati Saat Ini

20 Maret 2017   14:35 Diperbarui: 20 Maret 2017   14:55 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bicara soal kebaikan, dimana-mana dan sampai kapan pun tentu kita akan selalu membahas persoalan ini. Lagian, karena memang sudah seharusnya kita berprinsip pada nilai-nilainya, kan begitu? Masalahnya, mungkin kita hanya tak tahu dimana tepatnya letak kebaikan itu berada. Dalam arti, apa nilai kebaikan tersebut ada di waktu mendatang, di saat ini, atau setelah suatu kejadian berlalu; kita seringkali tak dapat menemukannya.

Memang persoalan temporal selalu inheren dengan kehidupan. Kita sering mengatakan "baiknya begini, baiknya begitu" terhadap situasi yang akan kita hadapi nanti. Padahal kita juga tak tahu akan menghadapi situasi yang bagaimana karena hal itu pun di luar kuasa kita. Dan di situlah saya kira, kita merasa tahu atau merasa sudah pasti akan menghadapi suatu permasalahan berdasarkan asumsi spekulatif. Tapi dalam arti, bukan hal ini buruk; tidak. Lantaran, kita tentu juga perlu untuk mengantisipasi yang akan terjadi di waktu mendatang. 

Lagian, siapa pula yang melarang? Tidak ada. Cuma memang seringkali pikiran kita lebih tertuju pada situasi yang akan kita hadapi, yang kita asumsikan tadi, daripada waktu sekarang yang sedang kita jalani. Pikiran kita berada melampaui lima menit kemudian, setahun kemudian, atau bahkan dua puluh lima tahun kemudian, sedangkan kita sedang berada menjalani saat ini. Padahal, mungkin kita tak menyadari bahwa ketika pikiran kita menjelajah ruang dan waktu, dari situ tak lain kita sedang mengalami kekhawatiran bahkan telah menakut-nakuti diri kita sendiri. 

Dengan kata lain, kita takut terhadap apa yang akan kita alami nanti. Tapi saya kira, bukannya apa yang kita lakukan saat ini, hal itu juga berarti kita sedang melakukan sesuatu untuk waktu yang akan datang? Nyatanya, pemikiran seperti itulah yang menyebabkan suatu kemalasan. Dari situ kita akhirnya kita suka mengatakan "nanti saja, besok saja, dlsbnya" seolah-olah kita pasti akan melewati waktu yang akan datang. Ditambah lagi, dari sikap semacam tersebut nyatanya kita telah menyia-nyiakan atau membuang-buang waktu.

Saya sebenarnya tak tahu mesti menyebutnya dengan sebutan apa. Apa pantas dikatakan kalau kita kurang menikmati atau menghayati detik tiap detik yang sedang kita jalani ini?

Di sisi lain ketika kita bicara soal kebaikan, kita juga bicara soal hikmah. Saya pun baru menyadari kalau "hikmah" ini sendiri baru bisa diketahui ketika kita sudah melewati suatu kejadian. Hikmah itu tersembunyi dan baru bisa diketahui setelah kita merenungi apa yang baru saja kita lewati. Dan dalam konteks inilah kita berurusan dengan masa lalu untuk menyadari dan mensyukuri kebaikan apa yang telah Tuhan berikan kepada kita. Jadi kalau misalnya orang mengatakan mantan pacar itu harus dibuang dan segala kenangan bersamanya mesti dicampakkan jauh-jauh, saya kira retrospeksi semacam itu cuma lantaran seseorang takut, khawatir dlsbnya. Saya heran, karena saya pikir, bukannya hal yang telah lewat semacam itu bisa dijadikan introspeksi untuk kita saat ini? Dan bukannya segala persiapan mesti dilakukan sekarang? Di tiap saat, di tiap detik ini, adalah persiapan untuk waktu mendatang yang tak kita ketahui Tuhan akan memberikan hikmah apa pada kita.

Untungnya dan syukurnya, kita telah diberikanNya pedoman untuk mengatasi dan menghadapi permasalahan temporal. Tuhan telah menetapkan agar kita jangan melakukan ini atau melakukan itu kalau-kalau suatu hal terjadi. Kita hanya disuruh patuh, walaupun kita boleh mengatakan hal ini adalah pilihan. Tapi saya rasa, kitanya saja yang menganggap aturan Tuhan tadi tidak berimplikasi terhadap permasalahan spasial dan temporal. Nyatanya, kalau saja kita mau memahami sejarah, bukannya mayoritas manusia terdahulu secara implisit telah menceritakan soal kepatuhan mereka kepada Tuhan? Dan saya pikir, bagi kita, saat ini adalah jalannya kehidupan yang tak terputus dari konteks masa lalu. Terus, apa kita mau cerita kehidupan generasi saat ini sama dengan generasi terdahulu? Saya kira, sebaiknya memang kita lebih banyak menghayati, berkontemplasi dalam konteks saat ini, detik ini, dan bukan nanti-nanti.[]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun