Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menulis ala Nabi

2 Maret 2017   17:07 Diperbarui: 2 Maret 2017   17:28 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: blogs-images.forbes.com

Membaca sejarah, memahami pada buku maupun Kitab Suci tentang bagaimana perjuangan para nabi, secara tak langsung muncul persepsi saya bahwa para nabi (dan rasul) itu pasti punya gaya bahasa yang komunikatif dan mudah dimengerti. Bukannya apa, karena tentu mereka diutus untuk mengajarkan substansi keagamaan kepada suatu umat atau masyarakat luas. Dan oleh karena itulah mereka mesti bisa berkomunikasi dengan segala kalangan masyarakat dari atas sampai bawah dengan bahasa yang mudah dipahami; dari kalangan intelektual sampai non-intelektual dlsbnya.

Dari persepsi semacam ini saya kemudian mencoba mengkaitkannya dengan permasalahan klise masyarakat saat ini, yaitu soal kurangnya minat baca kita.

Sejak beberapa waktu yang lalu saya melihat dari situs terpercaya, peringkat kita berada di urutan 60 dari 61 negara yang kurang minat baca. Dan saat ini, saya belum cari informasi terbarunya apakah kita naik peringkat atau malah turun. Lagian, kalau mau turun, turun kemana lagi?

Apa yang menjadi penyebabnya? Saya rasa semua orang memiliki argumentasinya masing-masing dalam usaha menjawab pertanyaan tadi. Tapi yang jelas, gaya bahasa yang komunikatif dan mudah dipahami ala nabi tadi akhir-akhir menjadi semacam "studi" bagi saya. Lagian, secara pribadi, saya sendiri kadang malas juga untuk baca tulisan yang konvensional dengan kosakata yang njelimet dan kaku. Apakah ini menjadi kebosanan masyarakat atau tidak, mungkin bisa dikatakan demikian lantaran saya sendiri juga mengalami kebosanan tersebut.

Dari situ pula kemudian saya memiliki visi pribadi untuk menggunakan bahasa yang komunikatif, sedikit emosional (bukan marah-marah, lho ya) dan tentunya mudah dipahami oleh banyak orang dalam menulis. Setidaknya orang mau tertarik pada gaya bahasanya dulu, ya tak apa-apalah. Soal substansi itu bisa diatur secara kondisional.

Dan alhamdulillah, semenjak saya menulis kembali di Kompasiana dan memposting beberapa artikel, pembaca yang mampir menilainya "menarik". Saya tak tahu apa substansinya yang menarik atau gaya tulisannya. Dari situlah kemudian saya pingin lebih intensif untuk menulis dengan cara kenabian macam tadi; yaitu komunikatif, menarik, dan tidak "memelintir otak". Karena lagipula kita kan berhadapan dengan orang-orang dengan berbagai jenjang intelektual. Jadi bukan cuma orang-orang yang sudah "master" dalam menuangkan ide-ide kritisnya, tapi juga orang-orang yang baru mulai menulis dan menyampaikan gagasannya. Toh seseorang menulis juga bukannya untuk dirinya sendiri dan minta untuk dipahami, kan? Saya sendiri justru ketika seseorang mengomentari tulisan saya dan komentarnya periferal atau "nggak nyambung" di situ saya merasa bersalah, bahwa ternyata tulisan saya tidak kompatibel pada orang tersebut. Apa saya harus menyalahkan pembaca dan mengatakan "goblok, tulisan begitu aja nggak ngerti!" Saya tentu tak bisa bersikap seperti itu dan harus memaklumi, memahami mereka.

Tapi pokoknya, saya kira yang mesti dilakukan saat ini adalah usaha untuk menarik orang banyak untuk membaca. Memahami dan mengubah paradigma masyarakat tentang suatu bacaan yang tadinya "terlalu tinggi", kaku, hanya untuk kalangan terpelajar dlsbnya itu pun tentu tak lepas dari concern saya. Nyatanya, pengguna Facebook saat ini sudah mewabah ke berbagai kalangan masyarakat. Hal itu pun menjadi kesempatan bagi saya untuk menulis sesuatu yang sekiranya bermanfaat daripada menulis status yang berisi curhat atau aktivitas yang tak penting bagi orang lain.

Mungkin tak salah juga kalau kita seolah-olah merasa menjadi nabi yang berkomunikasi pada orang banyak dengan metode-metode semacam tadi. Tapi saya bukan mengajak Anda sekalian untuk menjadi nabi. Dan saya sendiri pun tak pernah mengklaim diri saya sebagai nabi, lho ya... Sekali lagi, ini hanyalah satu sudut pandang dari sekian banyaknya solusi yang ada di pikiran Anda sekalian.

Ah, saya jadi teringat waktu malaikat Jibril mendatangi Nabi Muhammad dan menyuruh beliau untuk membaca. Bahwa ternyata segalanya berawal dari membaca sehingga kemudian seseorang menjadi tahu, berpikir, dan kritis terhadap suatu fenomena. Mau itu membaca artikel, membaca buku, atau membaca realitas, ya itu terserahlah. Pokoknya, ya baca...

Gimana, sudah merasa menjadi nabi belum?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun