Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perjuangan "Makhluk Pejuang"

25 Februari 2017   20:40 Diperbarui: 26 Februari 2017   06:00 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Ilustrasi | sumber gambar: id.pinterest.com"][/caption]

Dunia dengan dengan berbagai kontradiksi, rasanya memang sudah mesti selalu ada peperangan di dalamnya. Kalau tak ada perang, jelas tak asyik hidup ini. Sama kayak nonton film percintaan yang membosankan. Walaupun begitu, setidaknya peperangan tersebut tetap berkecamuk pada diri sendiri.

Kalau zaman dulu peperangan terjadi secara fisik, (jika melihat konstelasi kehidupan) sekarang peperangan itu berkonversi menjadi perang intelektual. Dan kalau dikaitkan dengan soal keagamaan, adalah persepsi yang keliru kalau orang-orang beragama dinilai sebagai makhluk-makhluk pasif yang tidak mengikuti progresivitas zaman. Soalnya, bisa ditindas mereka; bisa kalah dalam berbagai aspek kehidupan. Tapi bedanya, dalam mengikuti dinamika kehidupan, di sisi lain, hubungan dengan Tuhan juga mesti terjalin erat.

Dari pengamatan semacam inilah saya akhirnya mengetahui bahwa umat beragama melewati perjuangan hidup yang lebih berat. Umat ini harus mampu bersikap bijak dan moderat dalam mengimbangi urusan duniawi dan ukhrawi, nanti; berikut dalam urusan keagamaan maupun dalam urusan sekular, tentunya. Tapi seandainya kita menyadari, sebenarnya yang dinamakan sekularitas semacam itu ternyata tidak ada. Dan selain mengurusi ketidakberesan yang disebabkan manusia, seorang beragama (secara personal) pastinya harus terus berjuang melawan hawa nafsunya. Bayangkan saja bagaimana repotnya dia mesti melawan nafsu orang lain dan nafsu pada dirinya yang tak kalah kuat.

Jadi kalau pada sebuah artikel mengatakan bahwa seorang manusia (jiwanya) harus bersahabat dengan dirinya (kehendak nafsu), saya makin tak paham apa yang melandasi pernyataan tersebut. Apa kemudian implikasinya adalah narsisme, hedonisme, konsumerisme dlsbnya, saya sangat yakin tentu akan mengarah kesana. Lagian, kalau seseorang harus bersahabat dengan (nafsu) dirinya, kita pun tahu bahwa hal itu hanya akan mengakibatkan kemalasan pribadi. Belum lagi terhadap pikiran yang mesti ditaklukkan dan bukannya diikuti; ini masalah lain lagi. Nyatanya, lebih banyak manusia justru mengikuti pikiran sampai akhirnya menjadi budak pikirannya sendiri.

Bicara soal hal yang beginian memang menarik. Tapi mungkin saya harus bisa memaklumi orang-orang yang berpikiran seperti itu. Bagi saya hal demikian tentunya merupakan kesadaran intelektual manusia yang belum tahu apa tugasnya hidup di dunia. Lagipula, tugas ini kan mesti dicari dan disadari terus menerus diikuti dengan pengenalan terhadap diri. "Kita ini mau ngapain sih hidup di dunia?" kira-kira seperti itu titik tolaknya tadi. Dengan kata lain, seseorang yang berada pada tahap intelektual semacam ini, dia berada pada tingkat kesadaran "aku berpikir, maka aku ada". Walaupun begitu, kalau saja dia nantinya masuk begitu dalam menyelami dirinya lalu kemudian menyadari ketiadaan dirinya secara spiritual, secara tidak langsung dia akan menemukan "tugas" dan peran beserta tujuannya.

Bukannya kita di bumi ini berada dalam ketidaktahuan, kebingungan, ketidakjelasan? Tapi saya rasa, manusia memang sudah semestinya melewati tahap kesadaran seperti tadi terutama terkait dengan pertanyaan eksistensial. Lagian, karena dengan kesadaran tersebutlah manusia akan menuju pada dua orientasi; mendekati Tuhan atau menjauhiNya. Ditambah lagi dengan terbukanya kesadaran itu, seseorang pasti akan lebih dalam mencari, mencari, mencari dan mengenali diri, kehidupan, maupun berbagai anasirnya. Bagi saya, ini sudah masuk ke ranah spiritual dan laku olah-rasa.

Kembali ke konteks perjuangan manusia, mungkin hal-hal tadi hanya sebagian kecil dari perjuangan besar kita. Pokoknya selama hidup, manusia berada dalam perjuangan terus-menerus. Dari situ juga kayaknya perlu dibuat semacam teori bahwa manusia adalah makhluk pejuang.

Lagian logikanya, masak sih kita mau tentang-tenang saja di dunia yang keadaannya kayak begini ini? Apa dengan segala kenikmatan yang kita rasakan sekarang, terus kita menganggap dunia ini sudah beres, sudah aman, tak perlu ada yang digelisahkan? Justru dengan berbagai kenikmatan inilah saya merasa perjuangan "makhluk pejuang" lebih berat. Dia mesti berurusan dengan kenikmatan yang membuatnya jadi makhluk malas. Ini klise, pastinya. Lagipula kalau memang hidup kita sudah beres, tentunya segala kenikmatan ini bisa dinikmati bersama-sama, kan? Bukan cuma yang kaya saja yang bisa piknik, beli ini-itu dan makan enak, melainkan yang miskin juga mesti merasakannya. Nyatanya, apa sudah demikian? Atau jangan-jangan perbedaan status sosial itu justru semakin jauh? Dari hal seperti itulah saya kira jaman saat ini layak disebut sebagai zaman dimana manusia semakin asyik berasyik-asyikan sendiri. Kalau masih asyik-asyikan ya ajakin saya, gitu lho. Begitu dapat enak dinikmati sendiri, lha begitu dapat pahitnya, malah sibuk cari teman sependeritaan. Ini klise, dan nyatanya seperti inilah konstelasi diri saya dan "saudara-saudara saya" sekalian.

Sebenarnya saya menuliskan tentang hal di atas lantaran menonton film Kingdom of Heaven. Ternyata Tuhan menunjukkan hakikat kehidupan ini bisa dari berbagai cara, berbagai hal. Tidak hanya melalui agama, kontemplasi, berpikir, membaca dlsbnya, namun juga bisa melalui sebuah film yang kita tonton. Dari situ juga saya jadi makin semangat untuk berjuang; berkontribusi bagi kehidupan, bagi manusia, dengan tidak melepaskan diri dari prinsip-prinsip ketuhanan. Bahkan, prinsip dan norma-norma ketuhanan tadi mesti selalu dibawa kemana-mana sebagai fundamen seseorang. Hidup ini memang ternyata seru. Dan kalau segala permasalahan yang terkait dengan ketidakberesan itu dianggap banyak orang sebagai sesuatu yang mesti dihindari, justru saya mulai merasa bahwa kegelisahan dan "sakit kepala" semacam itu menjadi suatu kenikmatan. Makanya saya merasa lucu ketika melihat iklan massage yang bisa mengatasi "sakit kepala" seseorang.

Perjuangan terhadap manusia maupun dalam upaya mendekatiNya saya kira hal itu sama saja. Pada akhirnya segala kontradiksi tersebut mesti dipahami sebagai suatu kesatuan dan bukan keterpisahan. Manusia kan mestinya mengetahui yang baik dan yang buruk? Juga, harus tahu yang benar dan yang salah, tentunya. Lagipula, bukannya para nabi juga melakukan hal itu? Walaupun kita bukan nabi, tapi seorang manusia –sebagaimana nabi juga manusia– kan melakukan hal yang tak berbeda? "Tugas"nya sama, perjuangannya sama. Lha, bukannya prinsip kita juga sama?[]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun