Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Politik

Salahuddin Al Ayyubi, Aktualitas Politik dan Keagamaan Negeri Ini

22 Februari 2017   20:34 Diperbarui: 23 Februari 2017   18:29 819
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kegelisahan itu memang datangnya tak bilang permisi; tak pakai ketok pintu, eh tiba-tiba nongol begitu saja. Apalagi kalau melihat fenomena politik dan keagamaan yang belakangan ini terjadi, rasanya suatu kegelisahan itu kok jadi semacam keasyikan, ya?

Dari melihat fenomena-fenomena tersebutlah akhirnya muncul pertanyaan lama yang mungkin seolah-olah sudah terpisah sejauh antar kota antar propinsi. Sebenarnya, yang namanya agama itu masih inheren nggak sih dengan persoalan akhlak? Masalahnya, saya pun tak tahu siapa yang menanyakan pertanyaan ini. Apakah dari lubuk hati terdalam atau  dari malaikat yang sedang membisiki saya. 

Dari pertanyaan ini juga kemudian saya membayangkan seandainya ada dua orang, dimana yang satu tidak patuh beragama dan berperilaku mulia pada orang banyak, dan yang satunya lagi seorang beragama namun suka grusak-grusuk buat orang lain jengkel, yang manakah di antara kedua orang itu yang baiknya pantas dipilih? Saya  rasa jika saya bertanya pada Anda, tentu pilihan Anda sekalian tak berbeda jauh dengan pilihan saya.

Saya kira kita tidak lupa kalau agama diturunkan oleh Tuhan untuk membimbing, mengajarkan manusia pada jalan yang lurus dan pada kebaikan akhlak. Tapi kalau kenyataannya orang-orang beragama itu "hobinya" malah mengusik ketentraman umat beragama lain, bersikap antipati penuh ketidaksukaan, sensitif dan merasa benar sendiri, lha kalau begitu terus gimana, coba?

 Kembali ke pertanyaan awal, kalau saya sih mendingan pilih seorang "manusia profan" yang perilakunya baik atau wajar. Lagian, selama dia memang berniat mengubah keadaan masyarakat menjadi lebih baik, saya kira tentu tidak ada yang patut dipermasalahkan. Lha, kalau soal bagaimana kualitas  keagamaannya atau bagaimana kedekatannya dengan Tuhan, kan itu urusan personal dirinya dimana konsekuensi dan pertanggungjawaban dosa pahalanya, atau kafir tidaknya orang tersebut, dia sendirilah yangmenanggungnya. Dan kalau pada Kitab Suci terdapat larangan supaya jangan memilih pemimpin yang tidak seiman, saya kira kita jangan memaknainya secara harfiah. Nyatanya, ada unsur intrinsik berupa  persoalan konsekuensi di dalam ayat-ayat yang seringkali kita abaikan sampai-sampai kita terjebak pada pemahaman yang terlalu simplistis.

Salahuddin Al Ayyubi 

Sampai sekarang saya masih suka menonton film Kingdom of Heaven, yaitu sebuah film yang bercerita tentang Perang Salib.Diceritakan Yerusalem pada masa itu dipimpin oleh seorang raja Nasrani, Baldwin IV. Di sisi lain cerita permasalahan internal Yerusalem, ternyata ada seorang pemimpin Muslim bernama Salahuddin Al Ayyubi yang mempunyai pasukan lebih "rame", dan kalau dipahami, sebenarnya Salahuddin inilah pemimpin dan pengawas di atas raja Baldwin IV tadi. Nyatanya, kota suci Yerusalem dibiarkan dalam kepemimpinan Sang Raja, asalkan para Muslim di Yerusalem terjamin keamanannya dan tak mengalami gangguan. Sampai muncullah momen dimana umat Muslim mengalami gangguan oleh Guy de Lusignan dan Reynald de Chatillon, bergeraklah Salahuddin bersama pasukannya (yang disebut Saracen) menjumpai raja Yerusalem. Hampir terjadi pertempuran besar, tapi untungnya tak jadi. Kalau terjadi, pasti berserakan manusia dimana-mana.

Bukan cuma itu, di bagian akhir film juga ditampakkan sikap toleran Salahuddin pada saat berhasil  merebut Yerusalem dari usaha pertahanan mati-matian Balian dan pasukannya. Tapi, Salahuddin tidak memaksa kaum Nasrani untuk berpindah agama ke Islam. Bahkan, dia melindungi mereka dalam perjalanan keluar dari tanah suci Yerusalem. Dan bagian yang paling saya suka adalah ketika Salahuddin meletakkan kembali salib yang tergeletak di lantai ke atas meja. Padahal waktu itu umat Nasrani sudah pergi meninggalkan Yerusalem. 

Dari situ juga saya jadi berpikir, apa ada orang seperti Salahuddin Al Ayubbi saat ini? Pasti ada, tapi mungkin belum saya temukan. Bayangkan, seseorang beragama yang toleran, yang tidak "grusak-grusuk" terhadap keyakinan umat beragama lain, bahkan ketika dia sudah menguasai Yerusalem.

Seandainya ada orang seperti Salahuddin yang mau blak-blakan menjadi pemimpin, tentu saya akan memilihnya. Nyatanya, konteks beragama tidak hanya sekedar identitas kostum; tidak hanya sekedar hapal ayat-ayat suci dlsbnya. Siapa yang akan menafikan bahwa kita butuh seorang pemimpin yang berani melawan ketidakberesan, bukan hanya pada masyarakat, namun juga terhadap politisi. Di sisi lain, selama dia tidak menganggu keyakinan (agama) orang lain (termasuk saya, tentunya), hal ini mesti dijadikan sebuah parameter. Parameter inilah yang mesti kita pahami, dimana secara implisit mengenai parameter tersebut, ini juga terdapat di Kitab Suci.

Ditambah lagi, kalau pemimpin yang tidak seiman itu akhirnya membuat suatu ketidakberesan, kita mestinya sudah bisa belajar dari sikap Salahuddin dalam menyikapi ketidakberesan di Yerusalem.

Salahuddin memang bukan pemimpin Yerusalem, tapi kita bisa saksikan bagaimana dia melampaui kepemimpinan Baldwin IV saat itu. Ini jadi semacam analogi bahwa sebenarnya yang memimpin di atas pemimpin, tidak lain adalah rakyat. Pokoknya, selama pemimpin (siapapun dia, apapun keyakinannya) itu berperilaku baik dan tak melanggar batas (prameter), harusnya rakyat tak perlu khawatir. 

Saya pun beerkata begini bukannya tak menyadari ketidakberesan pada diri saya. Tapi bagaimana menjadi manusia yang baik di mata manusia maupun di hadapan Tuhan, tentunya ini menjadi usaha yang mesti dilakukan selama manusia hidup di dunia. Saya bukannya tak ingin jadi pemimpin. Tapi kalau tidak diperkenankan Tuhan untuk memimpin suatu bangsa, setidaknya sanggup memimpin diri sendiri dulu-lah.

Lagin, kita pun tahu kalau Rasulullah saw tidak berperilaku sewenang-wenang terhadap orang-orang Yahudi,tentunya selama mereka tidak berbuat macem-macem duluan. Tapi sayangnya, kok malah sikap intoleran tersebut bisa terjadi di negeri ini, ya? Aneh. Dan yang lebih parahnya, segala kritik maupun saran pun tak didengar. Susah kalau orang sudah merasa benar sendiri. Bagi saya, orang-orang yang begitu itu justru adalah orang yang paling keliru. Lihat saja Rasulullah, beliau tetap menerima kritik dan terbuka  terhadap saran dari umatnya, masyarakatnya, kok...

Nyatanya, sikap seseorang di mata manusia dan di hadapan Tuhan bukanlah merupakan keterpisahan. Tapi memang ada saja orang yang cenderung mengabaikan salah satu di antaranya.

Tapi pokoknya, persoalan manusia terhadap agama, terhadap Tuhan, tentu itu urusan pribadi semata. Apalagi kalau orang itu berbeda keyakinan, saya tentu tak ikut campur dan tak pantas mencampurinya. Lagian, kalau kita bicara soal kemajuan, kebaikan, perbaikan sosial dlsbnya, bukannya hal itu tetap sama di mata kita? Umat beragama maunya kebaikan yang bagaimana sih bagi masyarakat? Dan umat profan, juga maunya baik yang bagaimana bagi negeri ini? Cobalah ditanyakan. Kalau memang ada perbedaan, saya kira itu tak terlepas dari keyakinan personal. Tapi kalau kita bicara dalam konteks kemanusiaan, saya kira apa yang kita kehendaki pasti tak jauh berbeda. Yang beda itu kan kalau kita bicara dalam konteks ketuhanan, keyakinan?[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun