Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Rusak Otak

13 Juni 2016   00:07 Diperbarui: 13 Juni 2016   00:35 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kita pernah pikirkan itu, sampai hampir pecah otak ini karenanya. Kita pernah ingat hal itu, sampai tak tahu kita apa yang kita lakukan. Ingatkah kau? Mungkin kau tak akan ingat apa-apa, karena otakmu tentu sudah duluan rusak daripada otakku. Ya, itu seingatku.

Maklum, kau keburu mengalaminya sebelum aku. Dan tentu aku patut bersyukur karena tidak, atau belum sempat terjadi padaku apa yang kau alami. Kita hampir bisa; kita hampir mampu melakukannya. Namun sayang, bahwa memang sudah sewajarnya kita sadar akan segala kemampuan ini. Ya, kita sering lupa dan terlalu sombong dengan kemampuan kita. Mungkin kau tak akan pernah mendengar kata-kataku ini, tapi aku yakin kalau kau bisa menyadarinya tanpa pernah mendengarnya. Ya, aku yakin itu.

Sudah lupa aku tentang apa yang kita alami dulu. Otakku terasa sudah keropos dan berkurang dayanya. Memang tak bisa kita paksakan. Dan tahukah kau, kalau seandainya aku tahu segala resikonya, tentu tak akan kulakukan semua itu. Tak tahu aku apa pernah terbesit perasaan itu di kepalamu.

Kini kebodohan yang kualami. Ya, benar-benar kualami dan kurasakan bagaimana ini begitu kuhayati. Ya, menghayati kebodohanku sendiri, walaupun rasanya sudah tak pantas kumengira-ngira. Buat apa? Saat ini adalah saat ini, dan saat ini akan menjadi masa lalu yang dikemudian waktu akan semakin mempertebal cerita yang mau tak mau menjadi pelajaran. Ya, apa bisa kau pikirkan itu? Baik, cukup aku saja.

Tapi marilah kita saksikan; saksikan apa dan bagaimana waktu berubah dari dulu sampai ke nanti; dari kemarin saat kita lupa; sampai kita lupa, benar-benar lupa.

Pastinya masih banyak yang ingin kukatakan padamu. Bukan untuk mengingatkan, karena akan percuma mulutku berbusa sedangkan ingatan tak akan pernah kembali. Kita pernah pikirkan itu, kita pernah ingat hal itu, yang tak pernah lagi terbesit sedikitpun di kepala.

Pasti juga tak akan kau inginkan aku berkata-kata. Aku bisa tutup mulutku, jadi tenang sajalah kau, karena keinginanku ini mungkin hanya cukup untuk diriku sendiri. Hanya kita berdua tentunya, walaupun sekarang hanya tinggal aku. Siapa lagi? Hanya aku, sendiri.

Tenang, sekarang semuanya sudah lewat, dan kita adalah korban dari kesalahan, kelalaian kita sendiri. Tak perlu kita salahkan siapapun. Tak perlu kita meneriakkan sebuah nama selain nama kita, walaupun tak pernah kuingat nama kita. Nama kita, yang turut juga menjadi korban. Tak ingat aku dan tak ingin kuingat kalau hanya akan menjadi penyakit, lebih baik tak usah saja. 

Telah rusak otak kita. Dan apa yang bisa kulakukan sekarang selain menunggu; menunggu saat-saat hancur lebur tak tersisa, dan akan lenyap semuanya apa yang telah terjadi. Begitupun diriku, dan tak ada lagi cerita itu.

Biar tertawa angin dan segalanya. Melebur bersama partikel di udara. Menempel pada setiap makhluk bumi. Ya, masih kutunggu; kutunggu kapan waktunya terjadi.

Masih ingatkah kau? Adakah sedikit saja hal yang bisa kau ingat dan ceritakan padaku? Atau memang telah luput segala ingatan itu, menunggu hancur dan sebuah ingatan akan sia-sia saja? Marilah kita diam membungkam diri. Tak tahu aku berapa detik lagi waktunya. Kau tentu tak ingat, walaupun aku masih tahu dan masih dapat menikmati tahap-tahap awal proses menuju kehancurleburan ini.[]

 

Tulisan ini juga terdapat di blog monyetsinting.blogspot.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun