Mohon tunggu...
Aris P. Zebua
Aris P. Zebua Mohon Tunggu... Guru - Guru

Seharusnya pendidikan merupakan hadiah bagi semua orang | Blog pribadi: satyaaris.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Memaknai Ulang Pendidikan

2 Mei 2020   18:30 Diperbarui: 2 Mei 2020   18:26 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Menurut pengamatan sederhana penulis, yang terjadi selama ini, tujuan pendidikan kita adalah bersekolah. Lalu di sekolah, tujuannya adalah lulus ujian dan mendapatkan ijazah. Kita mengenal istilah wajib belajar. Di sinilah kelemahannya. Mungkin awalnya wajib belajar adalah sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat, tetapi lama kelamaan pemahaman masyarakat berubah. Seseorang dikatakan terdidik, jika ia sudah bersekolah dan mendapatkan ijazah atau gelar.   

Padahal bersekolah hanyalah salah satu proses dalam pendidikan. Ini dinamakan pendidikan formal. Seorang manusia dikatakan terdidik tidak hanya ketika ia bersekolah. Di rumah pun, dalam keluarga, jika seseorang mendapatkan pendidikan yang baik, maka bisa dikatakan terdidik. Tidak hanya itu, orang tua pun dapat memberikan atau membagikan pengetahuan anak. Ini disebut sebagai proses mengajar. Memang ada kendala waktu, di situlah orang tua membutuhkan sekolah sebagai perpanjangan tangan untuk mengajar dan mendidik anak.

Kedua, kita menganggap pendidikan sebagai kerja mesin. Ini masih berhubungan dengan poin pertama di atas. Ketika pemahaman kita tentang tujuan pendidikan hanyalah bersekolah, maka yang terjadi adalah seluruh beban pendidikan diserahkan kepada sekolah. Sekolah diharapkan dapat mencetak manusia yang berpengetahuan sekaligus berkarakter unggul. Bagi sebagian pihak, ini jadi kesempatan menjadikan sekolah sebagai lahan bisnis. Lahirlah sekolah-sekolah yang menawarkan kualitas terbaik yang diiringi bayaran mahal pula. Komersialisasi pendidikan pun terjadi.

Industri pendidikan menjadi subur. Bimbingan belajar semakin menjamur. Buku pelajaran di sekolah didesain menjadi kumpulan pengetahuan atau rumus untuk memudahkan pembelajaran. Lihatlah buku-buku pelajaran, contohnya matematika, lebih mirip kumpulan rumus. Di sana tidak ada konteks atau bagaimana menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Di rumpun ilmu sosial pun begitu. Buku pelajaran menjadi kumpulan teori untuk dihafalkan.

Pendidikan formal (sekolah) yang semula sebagai kelanjutan dari pendidikan keluarga, di mana di sana terjadi penguatan nilai-nilai karakter dan pembentukan pola pikir seseorang, berubah menjadi mesin pencetak 'manusia unggul'. Di sisi lain, menjadi lahan bisnis dan menjadi alat politik bagi penguasa.

Ketiga, di masa pandemi ini ketimpangan pendidikan semakin terkuak. Pendidikan yang dimaksud di sini adalah pendidikan formal. Beberapa penyebab ketimpangan, antara lain: 1) pendidikan yang sentralistik. Semua pelaku pendidikan bergantung pada (diatur oleh) pusat. Lebih tepatnya lagi, bergantung pada Jakarta. 2) pembangunan atau pemerataan pendidikan tidak merata karena adanya korupsi, campur tangan politik, dan masalah infrastruktur.

Era disrupsi yang terjadi saat ini semakin memperburuk wajah pendidikan kita. Sekolah yang 'maju' makin maju, biasanya di kota-kota besar; sementara sekolah yang tertinggal makin jauh tertinggal. Percepatan kemajuan teknologi hanya dapat dirasakan di kota-kota besar. Kecepatan perubahan yang terjadi tidak dapat diikuti oleh daerah-daerah tertinggal.

Keempat, jauh lebih dalam lagi, konsep pendidikan kita masih meniru pola dari luar atau negara lain tanpa memperhatikan konteks keiindonesiaan yang beragam. Kita terbentur pula apakah corak pendidikan kita pragmatis atau idealis. Tidak jelas. Di satu sisi ingin mencetak lulusan yang siap kerja (pragmatis), tetapi dalam proses pembelajaran lebih mengutamakan penguasaan teori-teori (bukan  pada penguasaan keterampilan tertentu atau perpaduan antara keduanya).

Metode belajar dengan pendekatan saintifik yang selama ini diterapkan pun tidak berjalan dengan baik. Masih banyak guru mengajar dengan metode lama yaitu ceramah. Mengapa ceramah? Karena ceramah lebih efektif untuk mengejar materi pelajaran yang begitu banyak dan padat. Sementara, metode saintifik membutuhkan banyak waktu. Selain itu, guru sendiri pun tidak terbiasa dengan metode saintifik, belum terlatih untuk melakukan penelitian yang merupakan dasar dari pembelajaran dengan pendekatan saintifik. Inilah masalah kurikulum kita.

Kelima, seperti yang penulis ungkapkan di atas, masa-masa wabah korona ini bisa menjadi momentum perubahan. Lihat saja, guru-guru mulai berlatih menggunakan teknologi digital. Sesuatu yang harus dikuasai di abad ini. Mungkin sebelumnya masih ada guru yang kurang peduli soal ini, tetapi kini mulai paham betapa teknologi digital dalam pembelajaran merupakan sebuah keniscayaan.

Sekarang yang menjadi perhatian kita adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah selaku penyelanggara pendidikan nasional. Apa yang akan dilakukan pemerintah?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun