Namun, terlepas dari masalah-masalah yang ada, penulis ingin kembali ke tujuan awal.
Selama ini pendidikan diidentikkan dengan kegiatan belajar-mengajar di sekolah. Barangkali bila ditanyakan kepada masyarakat apa itu pendidikan, mereka akan langsung membayangkan gedung sekolah, guru, dan murid. Bisa jadi juga masyarakat membayangkan pendidikan itu adalah wajib belajar dari tingkat dasar, menengah, hingga perguruan tinggi.
Padahal pendidikan tidak seperti itu. Pendidikan bukanlah benda padat dengan bentuk tertentu yang bisa dipegang. Inilah yang terjadi saat pemahaman masyarakat ketika membayangkan pendidikan sebagai gedung sekolah. Pendidikan juga bukan sekadar sebuah proses pengolahan produk tertentu di mana ada bahan mentah yang akan diolah, dimasukkan ke dalam mesin, kemudian jadilah suatu produk. Kalau dalam pendidikan seperti ini: murid baru masuk sekolah, diajar, kemudian jadi sarjana. Pendidikan bukan seperti itu.
Pendidikan adalah suatu proses yang melibatkan kerja sama berbagai pihak. Proses tersebut biasanya dikenal sebagai proses mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan kata lain pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia. Â Sebuah proses transformasi manusia menjadi manusia seutuhnya yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, berbudi pekerti luhur, bermoral, dan memiliki intelektual.
Proses pendidikan melibatkan berbagai pihak. Kita mengenal istilah tripusat pendidikan, yakni keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ketiga komponen ini, idealnya, saling bersinergi demi terwujudnya tujuan pendidikan nasional. Namun, pada kenyataan kita tidak merasakan sinergi tersebut. Pendidikan sepenuhnya diserahkan kepada sekolah. Sekarang, bagaimana kita harus menyikapi hal tersebut?
Bagi penulis, masa-masa pandemi ini menjadi kesempatan bagi kita semua untuk mengembalikan pendidikan pada makna sebenarnya. Ini semacam retret yang membawa kita memisahkan diri dari rutinitas, kemudian menyediakan waktu untuk merenungkan sejenak seperti apa dan bagaimana pendidikan kita di masa depan. Retret ini berguna bagi semua pihak terutama guru dan orang tua, dan pemerintah selaku penyelenggara pendidikan secara nasional. Ini bukan pekerjaan mudah.
Melalui media, kita bisa saksikan banyak orang tua kewalahan mengajari anak(-anak) di rumah. Pembelajaran yang berlangsung antara anak dan orang tua di rumah terkadang disampaikan dalam nada bercanda atau gambar-gambar lucu. Â Ada orang tua yang terus terang merasa kesulitan mengajari anak sendiri, ada pula yang memang tidak memiliki waktu untuk mengajari si buah hati, dan parahnya, ada yang acuh tak acuh pada proses pembelajaran si anak. Sikap yang terakhir ini mudah-mudahan tidak banyak.
Sebenarnya apa yang dilakukan guru saat mengajar di kelas jauh lebih sulit. Bayangkan dalam satu kelas terdapat puluhan siswa yang beragam latar belakang, kecerdasan, minat, dan berbagai permasalahan lain. Sementara di rumah, orang tua hanya mengajari atau membimbing beberapa anak. Ini memberikan kesempatan bagi orang tua untuk memahami betapa beratnya tugas seorang guru. Sekaligus memberi kesadaran kepada orang tua bahwa keluarga merupakan lingkungan pertama bagi anak untuk mendapatkan pendidikan.
Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Mengapa ada orang tua yang kesulitan mengajari anak sendiri? Apakah yang perlu kita lakukan selama 'retret' ini?
Penjelasan yang penulis berikan berikut ini merupakan pandangan pribadi yang selama ini menjadi kegelisahan penulis mengenai pendidikan.
Pertama, selama ini kita salah kaprah dalam memahami tujuan pendidikan. Ingat, tujuannya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Rumusan lengkap dan lebih mendetail terdapat dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.