Jika menekankan pada hal-hal teknis saja, maka akan ketinggalan. Karena hal-hal teknis tersebut sifatnya sementara dan harus turut berubah seiring perkembangan zaman. Itulah sebabnya ketika perubahan sistem dan metode pembelajaran disosialisasikan, banyak guru mengalami kesulitan. Pelatihan demi pelatihan yang diberikan, menurut pengalaman penulis, biasanya melewati/melompati bagian landasan perubahan yang justru sangat penting. Alasannya, bagian tersebut membosankan dan terlalu teoretis. Biasanya langsung ke penerapan atau praktik. Kalau bisa, salin semua programnya ke laptop masing-masing..
Dengan kata lain, guru pun malas berpikir. Mereka menghindari hal-hal yang menuntut pemikiran mendalam dan reflektif. Â Ini adalah kondisi yang memprihatinkan. Jangan harap mendapatkan ide baru atau inovasi pembelajaran dari kondisi seperti ini. Kondisi ini semakin parah jika kita menghadapkannya lagi ke kondisi zaman ini yang disebut sebagai era digital.
Pandangan bahwa era ini adalah era digital telah beberapa kali digaungkan dan dirasakan oleh sebagian besar umat manusia, termasuk sekolah. Seluruh data warga sekolah telah didigitalisasi dan bisa ditelurusi secara online. Beberapa sekolah telah menerapkan sistem absensi digital -- baik guru maupun siswa. Penggunaan teknologi canggih semakin ditingkatkan.
Namun, digitalisasi di sekolah cenderung karena kepentingan pasar. Berbagai promo teknologi terbaru -- dengan iming-iming diskon -- diajukan ke sekolah oleh pihak marketing tertentu. Teknologi ini memang menawarkan kemudahan bagi pekerjaan kepala sekolah atau guru. Tetapi, tidak membawa perubahan dalam proses pendidikan dan pengajaran secara mendasar.
Kepala sekolah memang dimudahkan untuk mengontrol kehadiran guru. Guru pun dimudahkan dalam mengontrol kehadiran siswa. Demikian pula dalam mengajar, guru dapat menyuruh siswa menggunakan internet untuk melengkapi tugas belajar mereka. Kelihatannya memang sangat bagus dan mengikuti perkembangan zaman. Namun, jika ditinjau lebih dalam, proses pendidikannya hanya berubah dari manual ke digital. Tidak lebih dari itu. Ini sama seperti mengganti kapur dengan spidol, papan tulis hitam dengan papan tulis putih, papan tulis putih dengan smartboard, dan seterusnya.
Mungkin hal yang paling mengkhawatirkan adalah kemajuan teknologi membuat sekolah tidak lagi relevan dengan dunia. Arus informasi, baik sifatnya berita maupun ilmu pengetahuan, dapat diakses di mana saja dan kapan saja. Informasi lebih banyak tersedia di luar sekolah ketimbang di sekolah dan mudah didapatkan. Jika ilmu pengetahuan dapat diakses dengan mudah di luar sana, lalu untuk apa sekolah?
Teknologi canggih sekarang menyediakan fasilitas belajar yang sangat menyenangkan buat siswa. Siswa bebas memilih pelajaran, tinggal "klik" maka materi belajar yang diinginkan muncul disertai video menarik, lengkap dengan tips dan trik pengerjaan soal, dan soal-soal latihan yang hasilnya dapat dilihat langsung. Kegiatan ini dapat dilakukan siswa di dalam kamarnya, di ruang tamu, atau di tempat lain manasuka.
Teknologi canggih tersebut tidak pernah marah, bisa diulang lagi dan lagi, menawarkan alternatif lain yang lebih mudah dipahami. Tidak mendapat "penghakiman" kalau hasil tesnya jelek. Sedangkan di sekolah, siswa seperti dalam penjara, dengan bosan mendengarkan guru, dan berbagai aturan harus dipatuhi. Dalam hal ini, peran guru bisa terancam oleh teknologi canggih. Guru hanya dijadikan pelengkap saja di dalam kelas.
Pertanyaannya adalah bagaimana guru menghadapi fenomena tersebut? Sangat sedikit guru yang benar-benar serius memikirkan pertanyaan itu. Dan menurut penulis, itu diterjadi karena guru tidak terbiasa menggumuli pertanyaan semacam itu (termasuk pertanyaan-pertanyaan sebelumnya). Tidak hanya guru, para pembuat kebijakan pun seperti itu. Â
Harari, dalam bukunya, Homo Sapiens, mengatakan bahwa kecanggihan teknologi saat ini akan menghasilkan golongan tidak berguna, yaitu golongan manusia yang tidak mampu melakukan apa-apa karena semua hal akan dikerjakan oleh teknologi. Â Kehadiran teknologi canggih, yang dikendalikan oleh algoritma, bisa mengambil alih pekerjaan manusia. Ketika algoritma mampu mengajar, mendiagnosis, dan merancang lebih baik dari manusia, apa yang akan kita lakukan? Penulis yakin bahwa pertanyaan tersebut tidak pernah terpikirkan oleh sebagian besar guru di Indonesia.
Menurut penulis, pendidikan di sekolah tetap membutuhkan guru. Guru seperti apa? Guru yang tidak saja kompeten dalam mengajar (jelas ini mutlak diperlukan), tetapi juga mampu berefleksi mengenai tindakannya. Hasil dari refleksi tersebut mendasari tindakan berikutnya sehingga hal itu semakin memperkaya pengalamannya sebagai guru. Guru juga harus mulai belajar mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendalam mengenai masa depan pendidikan.