Selanjutnya memasuki taman kanak-kanak. Di sana anak bermain sambil belajar, terutama belajar mengenal sesamanya, saling menghargai, dan lain-lain yang bertujuan untuk membentuk karakter anak. Namun, akhir-akhir ini taman kanak-kanak sudah mengenalkan anak pada angka dan huruf sampai menghitung dan membaca yang sesungguhnya belum saatnya. Bahkan kelulusan dirayakan dengan meniru wisuda perguruan tinggi. Biasanya ini didorong oleh ambisi orang tua agar anaknya terlihat pintar dan sekolah pun memfasilitasinya demi memenuhi keinginan "pelanggan".
Baca juga: Gaya Hidup, Lingkungan Sekitar, dan Pola Pikir Orangtua Jadi Faktor Penghambat Pendidikan Perempuan
Pada level taman kanak-kanak, pendidikan telah membentuk pola pikir statis pada anak. Anak-anak dibentuk agar merasa diri mereka cerdas dan mereka terus menerus diminta untuk membuktikannya di hadapan orang lain.Â
Di satu sisi, ini dapat menumbuhkan rasa percaya diri anak. Namun di sisi lain, hal ini bisa menjadi masalah besar jika si anak tidak mampu memenuhi keinginan orang tuanya. Ia merasa dirinya tidak cerdas, tidak mampu, dan ditolak, jika tidak memenuhi "syarat", jika tidak sanggup memenuhi tuntutan orang tua atau orang lain.
Kebiasaan-kebiasaan di atas masih terus berlanjut ke tingkat sekolah dasar (SD) hingga pendidikan menengah. Tidak sedikit orang tua maupun guru yang sering membeda-bedakan anak yang cerdas dan kurang cerdas. Seolah-olah kecerdasan anak tersebut telah terukir di batu, sudah tertanam dalam diri anak.Â
Ungkapan-ungkapan seperti, "dia cerdas dari sononya", "anak pemalas", "anak ini gak bisa diapa-apain lagi", dan seterusnya, masih terdengar di lingkungan sekolah, meskipun tidak terang-terangan dikatakan di depan peserta didik. Tetapi, cara berpikir guru seperti ini akan memengaruhi cara mengajar di kelas dan cara memperlakukan siswa di sekolah.
Mungkin itulah sebabnya terdapat beberapa kelompok di antara siswa. Ada yang kelompok "anak pintar", kelompok pemalas, dan kelompok "anak kepercayaan guru", dan lain-lain.Â
Munculnya kelompok-kelompok ini secara langsung atau tidak langsung membentuk pola pikir tertentu pada diri siswa. Menurut penulis, fenomena ini merupakan salah satu tanda bahwa peserta didik memiliki pola pikir statis yang terbentuk di sekolah. Kata lain, sekolah turut ambil bagian dalam pembentukan fixed mindset dalam diri peserta didik.
Selain pembentukan kelompok di atas, sebenarnya yang paling terlihat jelas adalah pembedaan jurusan IPA dan IPS. Ini masih menjadi pandangan umum dalam masyarakat kita bahwa siswa dalam kelompok IPA lebih pintar dibanding kelompok IPS. Ini adalah pandangan yang keliru. Bahkan sekolah turut mempertegas pandangan ini ketika pemilihan jurusan dilakukan berdasarkan hasil ulangan ujian atau nilai rapor. Seolah-olah anak yang pintar saja yang layak masuk IPA, sisanya masuk IPS.
Penulis percaya bahwa pengelompokkan jurusan ini pada awalnya untuk mengarahkan dan mengembangkan minat anak pada kelompok ilmu tertentu, bukan untuk membedakan mana yang pintar dan tidak pintar, atau mana yang berkelakuan baik dan mana yang nakal. Sekolah perlu mengembalikan tujuan sejati dari pemisahan kelompok jurusan ini.
Sebuah Saran