Seorang siswa SMA yang dikenal cerdas di sekolah tiba-tiba mengaku tidak yakin bisa mencapai nilai yang memuaskan pada ujian yang akan datang. Dia juga merasa tidak yakin bisa masuk perguruan tinggi favorit yang dicita-citakan. Hal ini membuatnya semakin giat belajar. Ia menghabiskan waktu hingga larut malam untuk belajar. Sayangnya, aktivitas belajarnya ini dimotivasi oleh rasa cemas dan khawatir yang berlebihan. Ia takut gagal. Ia takut dianggap tidak cerdas lagi seandainya mendapatkan nilai pas-pasan atau jika ia tidak lulus masuk perguruan tinggi idamannya.
Di sisi lain, ada siswa yang dikenal "biasa-biasa saja", namun ketika hasil ujian diumumkan, ia mendapatkan nilai yang bagus. Orang lain, teman-temannya, dan para guru yang menyaksikan ini sering dibuat terkagum-kagum. Ketika ditanyakan bagaimana ia bisa mendapatkan nilai bagus, jawabannya mungkin terkesan biasa saja, ia tidak terlalu mencemaskan hasil ujian, atau yang penting hadapi dulu, apa pun hasilnya terima saja.
Kedua siswa yang penulis ceritakan di atas hanyalah rekaan saja. Meskipun demikian, siswa seperti di atas, bisa jadi sering kita temukan di sekolah. Seorang berprofesi guru atau orang tua murid tentu mengetahui hal ini. Guru atau orang tua kadang heran melihat bagaimana seorang siswa yang cerdas (siswa pertama) bisa begitu cemas ketika ujian tiba. Padahal dengan kecerdasan yang dimiliki, siswa tersebut seharusnya memiliki keyakinan mencapai hasil memuaskan. Sebaliknya, merasa kagum dengan hasil yang diperoleh siswa yang dikenal sebagai siswa "biasa-biasa saja" (siswa kedua).
Baca juga: Menjadi Sukses dengan Mengubah Pola Pikir
Mengapa hal di atas bisa terjadi? Di sini penulis mencoba memberi tanggapan, yakni, jangan-jangan selama ini para guru mendidik siswa secara kurang tepat. Tidak jarang kita mendengar bahwa guru datang ke sekolah, mengajar, lalu pulang. Pada periode tertentu guru memberi evaluasi kepada siswa. Dan pada ujung perjalanan proses pendidikan mereka, pada tingkat tertentu, para siswa harus mengikuti apa yang disebut ujian nasional.
Proses di atas adalah proses yang bisa ditemui di sekolah secara umum di Indonesia. Hal yang ingin penulis tekankan adalah proses pendidikan tersebut bertujuan hanya untuk membuat anak menjadi pintar sehingga mereka harus membuktikannya lewat nilai-nilai yang bagus dan prestasi akademis saja.Â
Prestasi akademis bisa berupa juara kelas, juara lomba-lomba di dalam maupun antarsekolah hingga tingkat nasional atau internasional. Ini memang baik, namun bisa juga menimbulkan pengelompokkan antara siswa pintar dengan yang kurang pintar. Â Jadi, ini tentang pembentukan pola pikir peserta didik.
Secara singkat, pola pikir atau mindset merupakan bagian dari cara berpikir. Pola pikir bisa diartikan sebagai sekumpulan keyakinan tentang sesuatu. Pola pikir adalah sebuah sikap mental yang memengaruhi perilaku seseorang; cara seseorang memaknai sebuah situasi.
Penulis buku psikologi terkemuka, Carol Dweck, dalam bukunya yang tekenal, Mindset: The New Psychology of Success, menuliskan bahwa ada dua pola pikir yang menentukan keberhasilan seseorang yaitu fixed mindset (pola pikir statis atau tetap) dan growth mindset (pola pikir bertumbuh).Â
Menurutnya, fixed mindset adalah memercayai bahwa kemampuan dan bakat anda telah terukir di batu, membuat anda merasa penting untuk terus menerus membuktikan diri. Sedangkan growth mindset menganggap bahwa kualitas diri dapat dikembangkan dengan usaha.