Si Bapak menaruh semangkuk mi ayam di hadapanku. Uapnya mengepul dan tidak lama tercium aroma yang menggugah selera makan. Lalu ia menggeser kotak sendok dan garpu, kotak tisu, kemudian menyodorkan botol saus, lada, dan kecap manis. "Mau minum apa, Mas?" tawar Si Bapak. "A*ua botol saja, Pak?" Si Bapak segera ke tenda sebelah mengambil sebotol air mineral. Mungkin sudah aturan, aturan tidak tertulis di sini, bila yang satu jual makanan yang lain jual minuman. Entahlah.
Sebelum memakannya, terlebih dahulu aku mengelap sendok dan garpu dengan tisu. Kuaduk mi ayamnya sambil meniup pelan karena masih panas. Sebenarnya di situ ada juga sumpit, tapi tidak kugunakan. Aku lebih memilih memakai sendok dan garpu. Tidak lama setelah aku mulai makan, ada pelanggan lain datang memesan makanan juga. Sepasang laki-laki dan perempuan. Barangkali mereka sedang kencan, dugaanku. Â Sekilas kudengar obrolan mereka, namun tak kuhiraukan.
Makan di pinggir jalan sangat menyenangkan. Meski demikian, perlu hati-hati memilih tempat. Â Minimal agak jauh dari pusat kemacetan agar terhidar dari asap kendaraan, serta penampilan penjualnya rapi dan peralatannya bersih.Â
Aku memang selalu memilih tempat yang nyaman bersih. Â Menyenangkan itu maksudku harganya murah dan porsinya lumayan. Jauh berbeda bila kau makan di mall atau restoran besar. Sudah porsinya sedikit, mahal pula.
Mi ayamku ludes sudah. Kurasakan perutku sangat nyaman. Aku duduk sebentar sambil melihat-lihat sekitar. Kebetulan aku duduk menghadap jalan raya. Entah dari mana saja manusia-manusia ini datang. Ke mana saja mereka hendak pergi. Pikiranku bertanya-tanya sambil kunikmati kesendirianku. Bagi sebagian orang, selesai makan, ya, merokok. Aku tidak merokok. Itu pantang bagiku karena hanya membuang-buang uang secara percuma.
Sebelum beranjak dari situ, kubayar makananku. Si Bapak mengucapkan terima kasih. Dan kubalas terima kasih juga. Mi ayamnya enak dan aku puas, kataku pada Si Bapak. Kuambil barangku dari bawah meja. Sebuah kantok plastik hitam berisi jaket dan sepatu. Aku berencana ke pasar untuk mengganti ritsleting jaketku yang rusak ke tukang jahit. Kemudian ke tukang sepatu untuk menjahitkan sepatuku.
Pertama aku datang ke tukang jahit. Letaknya di lantai dua di dalam pasar. Aku naik tangga yang berada persis di depan gedung pasar. Aku hanya perlu melewati dua kios saja di sisi kanan. Di situ berjejer kios-kios tukang jahit. Aku datangi yang kiosnya agak sepi. Di situ ada dua tukang jahit. Satu dari mereka sedang sibuk dengan jahitannya. Satunya lagi sedang makan bakso.
Kau bisa melihat tumpukan kain aneka warna di rak yang menempel di dinding, pakaian yang digantung, serta tumpukan kain di atas meja. Semua terlihat tidak rapi. Di lantai terlihat potongan-potongan kain dan benang. Di kios sebelah, terlihat menyatu dengan kios ini karena pembatasnya dilepas, ada penjual keperluan jahit. Etalase kaca berisi berbagai macam kancing, manik-manik, jarum, ritsleting, benang, pita, hiasan-hiasan, dan lain-lain yang tidak kuketahui itu apa. Di situ juga terlihat berbagai jenis ritsleting panjang yang digantung, tali tas, dan masih banyak lagi.
"Mas, bisa ganti ritsleting jaket?" Kutunjukkan jaketku ke tukang jahit yang sedang makan bakso. Ia sepertinya sedang istirahat.
"Bisa, Bang. Mau yang bagus atau yang biasa?" dia menjawab sambil makan. Â Kemudian ia menyebutkan merek yang tidak kuketahui.
"Maksudnya?"