Mohon tunggu...
Aris P. Zebua
Aris P. Zebua Mohon Tunggu... Guru - Guru

Seharusnya pendidikan merupakan hadiah bagi semua orang | Blog pribadi: satyaaris.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengamati Kinerja Guru

11 November 2018   21:42 Diperbarui: 11 November 2018   22:08 692
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Lalu datanglah pengawas dinas dengan penuh wibawa memberi pengarahan, baik kepada kepala sekolah maupun guru. Tidak lupa berlembar-lembar instrumen evaluasi kinerja guru yang kebanyakan diisi dengan cara dicentang alias checklist. Ini lebih mirip cek daftar harga barang. Memang pengawas sekolah adalah seorang yang berpengalaman di bidangnya dan tentu telah dibekali berbagai pengetahuan dan keterampilan tentang persekolahan. Namun, yang terluput di sini adalah bahwa pengalaman dan karakteristik setiap guru sangatlah berbeda. 

Selain visitasi yang dilakukan oleh pengawas sekolah, kadang juga diadakan pelatihan untuk guru tentang metode pembelajaran. Ada bagian dalam sesi pelatihan di mana guru melakukan praktik mengajar di depan rekan guru lain (peer teaching). Lalu di kemudian hari praktik mengajar ini diteruskan di sekolah masing-masing dengan diawasi oleh guru (yang berasal dari sekolah lain). Tapi kegiatan ini sangat jarang. Biasanya untuk formalitas saja (yang penting program pelatihan terlaksana). Setelah itu, sekembalinya ke sekolah masing-masing, guru kembali ke pola atau kebiasaan lamanya saat mengajar. 

Untuk mengukur kinerja guru memang gampang-gampang susah. Instrumen pengukuran kinerja guru yang berisi daftar centang hanya sesuai untuk menentukan kelengkapan administrasi saja, seperti program mengajar (harian, bulan, semester, dan tahunan), daftar hadir, daftar nilai siswa. Kemudian, hanya mengukur proses yang sifatnya tahapan, seperti membuka hingga menutup pelajaran. Tetapi, ini tidak mengukur keberhasilan guru secara utuh. Bisa saja administrasi lengkap dan langkah-langkah pembelajaran sudah sesuai 'prosedur operasional standar', sementara masih banyak siswa tidak mendapatkan apa-apa (mendapatkan sedikit) dari pembelajaran hari itu. 

Peer teaching memang bagus. Mengajar di depan rekan guru dan langsung mendapat feedback merupakan cara yang baik untuk melihat dan meningkatkan performa seorang guru. Tetapi lagi-lagi, rekan-rekan guru, betapa pun memberi penilaian, bukanlah siswa. Buktinya, ketika kembali mengajar di depan siswa, sedikit sekali perubahan yang terjadi. Banyak yang seperti itu terjadi di dunia persekolahan. 

Tidak jarang pula guru menjadikan momen pelatihan sebagai ajang 'berbagi' file alias copy-paste. Saling berbagi ini biasanya seputar rencana program pembelajaran (RPP) hingga berbagi soal ujian. Atau administrasi lain yang diperlukan. Beberapa obrolan yang biasa muncul; nanti tinggal ganti nama dan tanggal, yang penting ada dulu, atau pinjam program buat pedoman saja. 

Kunjungan pengawas ke sekolah kadang tidak efektif. Apalagi kalau cuma duduk-duduk di ruang kepala sekolah sambil menikmati jamuan yang dihidangkan. Hehehe. Andai pun masuk kelas, biasanya kelasnya sudah dikondisikan dulu agar semua tampak berjalan lancar. Ini juga terjadi kala kepala sekolah melakukan supervisi ke kelas-kelas. Saat pimpinan atau pejabat dinas melakukan pengamatan, kondisinya tampak baik-baik saja.  Setelah itu, hanya guru bersangkutan dan siswa yang tahu kondisi sesungguhnya. 

Itulah masalah saat kinerja guru diukur. Hasil kerjanya tampak ada yang kurang, tapi ketika disupervisi tampak baik-baik saja. Mungkin di sinilah berlaku asas ketidakpastian Heisenberg.  Alat ukur yang berupa angket atau kuesioner memang cukup membantu, setidaknya secara kuantitatif. Ini membuat guru cukup disiplin dalam melengkapi administrasi (perangkat) pembelajaran. Walaupun banyak yang hanya copy-paste program tahun sebelumnya, minta dari sekolah lain atau mengunduhnya dari internet. 

Terlepas dari sulitnya mengukur kinerja guru, beberapa hal yang kupelajari dan mungkin sedikit saran. Pertama, guru tidak siap untuk dinilai atau dikritik. Jangankan menerima perubahan, menerima masukan dari pihak lain pun rasanya sulit. Seolah-olah dianggap tidak kompeten. Padahal kritik dan saran bermaksud untuk meningkatkan performa guru dan, tentunya, untuk memajukan pendidikan nasional. 

Kedua, yang hampir sama dengan pertama, adalah guru tidak siap menerima jika kinerjanya buruk. Guru ingin selalu dianggap 'hebat'. Akhirnya, ketika diadakan penilaian, kelas dikondisikan terlebih dahulu agar terlihat baik-baik saja dan segala hal yang sifatnya administratif sering hanya formalitas belaka. Ini menyulitkan dalam mendapatkan penilaian yang objektif. 

Ketiga, banyak guru tidak serius mengembangkan diri. Coba saja tanyakan apakah guru rajin membaca. Jawabannya, sangat sedikit guru yang rajin membaca. Apakah guru aktif mengikuti pelatihan demi pengembangan profesinya? Kalau ikut pun sekadar 'setor badan'. Bagian ini memang jadi dilema bagi guru. Saya sendiri mengalaminya. Guru lebih banyak menghabiskan waktu untuk hal-hal administrasi dan tidak berhubungan dengan pembelajaran di kelas. 

Guru sebagai ujung tombak pendidikan sudah seharusnya bersedia dikritik dan diberi masukan. Guru juga harus berkeinginan kuat untuk mengembangkan diri. Semuanya tentu demi memajukan pendidikan kita. Dalam mengukur kinerja guru, tidak cukup mengandalkan kuesioner saja. Tetapi juga harus ada penelitian kualitatif, perlu diadakan diskusi (focus group discussion) yang melibatkan pihak yang berkaitan, termasuk siswa sendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun