Mohon tunggu...
Aris P. Zebua
Aris P. Zebua Mohon Tunggu... Guru - Guru

Seharusnya pendidikan merupakan hadiah bagi semua orang | Blog pribadi: satyaaris.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Tantangan bagi Pendidikan Karakter

19 Mei 2018   19:21 Diperbarui: 19 Mei 2018   19:41 1377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada tanggal 14-15 Mei yang lalu diadakan pelatihan di sekolah. Pelatihan tersebut diikuti oleh para pendidik dari enam sekolah. Kali ini, bukan kebetulan, kami dipercaya sebagai tuan rumah pelaksana pelatihan yang dinamai in house training (IHT) ini.

Sebenarnya pelatihan ini merupakan bagian awal dari rangkaian pelatihan-pelatihan berikutnya yang bertujuan untuk mempersiapkan para guru atau untuk menyamakan persepsi sehingga di pelatihan berikutnya semua peserta bisa nyambung.

Tema pelatihan ini adalah implementasi kurikulum 2013. Sekolah sasarannya adalah sekolah-sekolah yang baru atau akan menerapkan kurikulum 2013. Karena menurut program, semua sekolah sudah harus menerapkan kurikulum 2013 di tahun 2019.

Materinya seputar penyusunan rencana program pembelajaran, silabus, penilaian, penyusunan dokumen sekolah, gerakan literasi sekolah, dan penguatan pendidikan karakter. Oleh karena materinya sangat banyak, tulisan ini hanya membahas mengenai pendidikan karakter.

Seperti kita ketahui topik mengenai pendidikan karakter sudah banyak diulas oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, tulisan ini memfokuskan diri pada tantangan dalam penerapan pendidikan karakter.

Dalam pelatihan di atas, ketika pemateri menanyakan "apa itu karakter?", berbagai jawaban muncul dari para peserta. Ada yang mengatakan karakter itu sifat, bawaan lahir, ciri khas, pembeda, kualitas diri. Tidak sedikit pula yang kebingungan. Beragamnya jawaban yang diberikan bisa menjadi sebuah tantangan bagi penerapan pendidikan karakter. Jangankan menerapkannya, pemahaman mengenai apa itu karakter pun belumlah mencukupi.

Namun, tantangan tersebut bisa diatasi dengan memberikan nilai-nilai utama karakter yang akan dikembangkan. Lima nilai karakter tersebut adalah religiusitas, nasionalis, integritas, kemandirian, dan gotong-royong.

Masing-masing nilai tersebut masih memiliki sub nilai yang semakin memudahkan penerapan pendidikan karakter di sekolah. Contoh sub nilai nasionalisme: cinta tanah air, semangat kebangsaan, menghargai keberagaman, rela berkorban, dan taat hukum.

Sekolah terlebih dahulu membuat analisis kondisi dan kebutuhan. Kemudian sekolah akan membuat program kerja yang berkaitan dengan  pendidikan karakter berdasarkan nilai dan sub nilai yang telah dijabarkan di atas sesuai dengan kondisi sekolah masing-masing. Artinya, program di setiap sekolah bisa berbeda atau bisa pula sama.

Sejauh pengamatan penulis, program pendidikan karakter yang dibuat oleh sekolah masih dalam cakupan yang sempit. Maksud penulis adalah program tersebut hanya dalam relasi antara pendidik dengan peserta didik (guru-siswa). Atau paling jauh adalah relasi antara sekolah dengan peserta didik. Sekolah membuat program, guru menjalankan program, dan siswa menjadi objek.

Padahal bicara mengenai pendidikan karakter melibatkan banyak pihak. Tidak hanya guru, staf sekolah, tetapi juga orang tua, komunitas di luar sekolah, lingkungan masyarakat. Percuma guru menggiatkan pendidikan karakter di sekolah jika di rumah orang tua tidak memberikan perhatian kepada anaknya karena terlalu sibuk bekerja. Bahkan yang biasa terjadi adalah orang tua sepenuhnya menyerahkan masalah pendidikan anaknya kepada sekolah.

Demikian halnya dengan lingkungan di sekitar siswa yang hampir-hampir tidak ditemui lagi nilai-nilai positif sebagaimana diterapkan di sekolah. Ambil contoh mengenai nilai menghargai kebersihan lingkungan yang merupakan sub nilai dari religiusitas. Di sekolah, siswa didik untuk menghargai alam, membuang sampah pada tempatnya. Ketika siswa keluar dari sekolah, mereka menemukan hal yang sama sekali berbeda.

Dan penulis percaya bahwa pergaulan yang buruk akan merusak kebiasaan yang baik. Artinya, siswa yang telah ditanamkan nilai-nilai karakter di dalam dirinya, ketika bergaul dengan masyarakat, pelan-pelan nilai-nilai tersebut akan hilang.

Inilah tantangan berikutnya bagi pendidikan karakter yaitu bagaimana menciptakan jaring relasi yang lebih luas -- hingga tidak hanya antara guru-siswa saja.

Masih dengan relasi guru-siswa, di mana siswa menjadi objek bagi pendidikan karakter, ditemui kelemahan lain yaitu seolah-olah guru diasumsikan sebagai sosok pribadi yang memiliki karakter yang lebih kuat dibanding siswa. Padahal belum tentu.

Menurut pengamatan penulis, sebenarnya masih banyak guru yang justru memiliki karakter yang lemah: tidak disiplin, sering pula terlambat masuk kerja, belum mandiri dalam menjalankan tugas alias copy-paste program, dll.

Sejauh ini beberapa hal yang penulis bisa simpulkan. Pertama, pemahaman mengenai pendidikan karakter yang masih belum merata di antara pendidik. Kedua, penerapan pendidikan karakter masih dalam cakupan yang sempit.

Menurut penulis kedua hal ini masih merupakan tantangan awal yang harus segera dipikirkan solusinya. Tantangan lain yang berkaitan pendidikan karakter akan penulis bahas di bawah ini.

Seorang peserta bertanya saat pelatihan, pertanyaannya kira-kira seperti ini, bagaimana agar penanaman nilai-nilai moral kepada peserta didik di sekolah tidak terkesan memaksakan atau indoktrinasi? bagaimana dengan nilai-nilai yang juga diharapkan oleh orang tua bagi anaknya? bagaimana dengan harapan anak itu sendiri?

Pemateri memberi jawaban: 1) pendidikan karakter bukanlah indoktrinasi, sifatnya bukan menekan (represif). Peserta didik selalu diberikan ruang untuk memilih nilai yang diinginkannya. Peran guru adalah membimbing; 2) mengenai nilai, nilai-nilai yang diajarkan di sekolah merupakan nilai-nilai moral yang berlaku umum di masyarakat. Jawaban untuk pertanyaan ketiga masih kurang jelas. Mungkin saat itu penulis sedang tidak fokus hehe.

Penulis setuju atas jawaban pertama  pemateri di atas. Pendidikan karakter mensyaratkan kebebasan. Jika tidak, maka penanaman nilai merupakan pemaksaan. Peserta didik diberi hak untuk memilih nilai moral yang diinginkan. Hanya saja pendidik bertugas untuk terus membimbing agar peserta didik bisa memilih dengan bijak sehingga dapat menjadi bekal bagi kehidupannya kelak.

Tentang nilai yang diharapkan orang tua, jawaban yang diberikan pemateri kurang memuaskan bagi penulis. Terkadang apa yang diharapkan orang tua tidak sejalan dengan sekolah. Nilai-nilai dalam keluarga kadang berbeda dengan nilai yang diajarkan di sekolah.

Misalnya dalam keluarga, orang tua mengharapkan anaknya mendapatkan nilai belajar yang memuaskan tanpa mengajari si anak bagaimana meraihnya -- bahwa dibutuhkan kerja keras, ketekunan, dan kejujuran -- yang penting nilainya bagus. Ini merupakan tantangan bagi pendidikan karakter. Oleh karena itu, perlu diadakan sosialisasi kepada orang tua mengenai program pendidikan karakter di sekolah.

Selain penjelasan di atas, tantangan-tantangan berikutnya yang perlu diperhatikan adalah yang sifatnya lebih besar -- meskipun tidak selalu kelihatan. Pertama, mengenai pandangan dunia. Pandangan dunia mengatakan bahwa nilai-nilai moral selalu berubah atau tidak ada yang tetap. Apa yang dulu dianggap tabu, sekarang diperbolehkan.

Menurut penulis, ini merupakan tantangan serius. Pendidikan karakter menjadi tidak relevan diterapkan di sekolah menurut pandangan ini. Tidak ada manfaatnya mengajarkan nilai-nilai moral tertentu karena suatu saat tidak relevan.

Kedua, sulit mengukur karakter (nilai-nilai moral yang dianut) seseorang. Pendidikan karakter dianggap tidak tepat dilaksanakan karena tidak bisa diukur pencapaiannya. Nilai-nilai moral di suatu tempat juga bisa berbeda di tempat lain.

Ketiga, globalisasi. Bukan hal baru lagi bila globalisasi menjadi tantangan di hampir setiap segi kehidupan. Perkembangan teknologi,transportasi, dan komunikasi menjadikan dunia tanpa batas. Globalisasi menerobos pertahanan moral dan agama yang sudah lama dipertahankan. Televisi, internet, koran, smartphone merupakan media informasi dan komunikasi yang berjalan dengan cepat, sangat berpotensi merusak moral bangsa yang selama ini dipegang erat.

Semua tantangan di atas jangan sampai menyurutkan semangat kita dalam melaksanakan pendidikan karakter. Penulis percaya bahwa pendidikan karakter menjadi salah satu jawaban dalam mengatasi masalah dekadensi moral saat ini. Yang dibutuhkan adalah keseriusan dan komitmen bersama dalam mewujudkannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun