Menyadari bahwa kita dapat bersikap emosional adalah langkah pertama untuk meningkatkan kemampuan rasional itu sendiri. Demikian halnya dalam pengelolaan keuangan pribadi.
Kita perlu menyadari bahwa di dalam kegagalan di masa lalu, terdapat faktor emosional yang menyebabkannya.Â
Rumah baru yang kita beli tahun lalu dengan KPR mungkin membuat kita terlihat mapan di mata kolega dan calon mertua, tapi mungkin rumah itu juga yang akan menyebabkan kita harus terbelenggu puluhan tahun di tempat kerja ketika teman-teman sejawat sudah lama menikmati masa pensiun.
Demikian juga dengan saham blue chip itu yang sempat diobral murah sewaktu pandemi COVID-19 lalu, yang tidak kunjung kita beli karena takut harganya akan terus turun dan kita lebih nyaman menyimpan uang di bawah matras.
Berapa banyak kegagalan semacam ini yang dapat kita cegah jika seandainya di masa lalu kita mampu menjaga diri untuk tetap rasional? Kita mungkin tidak akan secara sembrono mengambil tindakan yang keliru. Kita mungkin tidak akan ragu untuk mengambil tindakan yang tepat.
Tapi sayangnya, sebagaimana petinju yang memiliki strategi matang sebelum naik ring, begitu kita mendapat bogem mentah dari realita kejadian yang kurang menyenangkan, semua strategi itu buyar dan kita kembali ke respon reaktif dan emosional.Â
Untuk melampaui hambatan ini, dibutuhkan lebih dari sekedar rasionalitas memang. Kita butuh perencanaan yang matang dan juga sistem otomatis yang mencegah kita mengambil keputusan keliru atau melewatkan kesempatan baik. Perencanaan dan sistem seperti apakah itu? Ah, ada baiknya kita bahas terpisah pada artikel selanjutnya.Â
Untuk sekarang, cukuplah bagi kita untuk menyadari kelemahan kita ini. :)
Bibliography
Greene, R. (2018). The Laws of Human Nature. Viking.
Housel, M. (2020). The Psychology of Money: Timeless Lessons on Wealth, Greed, and Happiness. Harriman House