Dengan adanya pandemi, hikmah yang bisa kita petik darinya bukan mengenai bagaimana semua perusahaan harus bisa memiliki unit bisnis yang diuntungkan dari situasi sejenis (misalnya kita berasumsi semua perusahaan harus punya unit usaha logistik). Kendati strategi ini bagus dari sudut pandang diversifikasi, hal ini bukanlah yang utama.
Yang utama justru lebih kepada bagaimana dunia bisnis mampu menyadur model-model bisnis mana yang usang dan tidak lagi efektif. Misalnya, dengan adanya pandemi restoran dapat melihat bahwa layanan pesan-antar memiliki potensi yang besar untuk digali sehingga akhirnya model bisnis restoran dapat dimodifikasi untuk mengakomodir perubahan paradigma ini. Perubahan ini juga bermanfaat bagi pemilik modal restoran dalam hal mengatur ulang alokasi modalnya.
Sayangnya, sebagian birokrat tidak justru memandang pandemi dengan mengedepankan intervensi yang tidak perlu terhadap ekonomi. Misalnya, Amerika Serikat yang memberikan stimulus pinjaman bagi beberapa perusahaan, sebagian berakhir dengan kasus manipulasi. Akibatnya, perusahaan menjadi "manja" dalam menangani masalah, mirip seperti bagaimana tubuh menjadi "manja" dalam melawan penyakit akibat keberadaan obat.
Di Indonesia, hal yang mirip juga terjadi ketika pemerintah memberi begitu banyak insentif mulai dari pajak sampai subsidi gaji. Situasi ini, kendati dalam jangka pendek menjadi bantalan agar krisis tidak berdampak parah terhadap daya beli masyarakat, dalam jangka panjang hanya akan melemahkan kemampuan ekonomi real masyarakat.
Situasi ini sudah terjadi sebetulnya di Amerika Serikat di mana negara tersebut saat ini mengalami kekurangan suplai tenaga kerja kasar. Para tenaga kerja lebih menyukai stimulus bulanan ratusan dollar ketimbang harus bekerja. Perusahaan di sana sampai harus memberikan bonus tertentu hanya supaya para kandidat mau datang melamar.
Yang harus kita ingat, dalam ekonomi tidak ada yang gratis. Selalu ada efek sampingan lapis dua, tiga, empat, dan seterusnya yang harus dipertimbangkan. Ketika stimulus secara royal ditebar oleh pemerintah, terlepas dari ada atau tidaknya kepentingan elektoral, pasti ada harga yang harus kita bayar bersama ke depannya. Dan ini terbukti dengan bertambahnya utang pemerintah selama masa pandemi secara signifikan demi membiayai stimulus dan subsidi yang sedang berjalan, sesuatu yang ke depannya harus dibayar kembali dengan beberapa persen bunga menyertainya.
Final Thought
Pandemi sebagai black swan event membuka mata kita terhadap seberapa rentannya masyarakat, baik dari segi kesehatan maupun ekonomi, ketika muncul suatu stressor yang bersifat disruptif.
Perlu ada kesadaran dari kita untuk berubah, namun bukan dalam rangka semakin mengisolasi diri dari stressor di masa depan. Sebaliknya, dengan menyadari bahwa tubuh dan ekonomi memiliki potensi antifragile terhadap beberapa stressor, kita dapat dengan lebih bijak mempersiapkan keduanya untuk menghadapi stressor disruptif selanjutnya di masa depan.
Terlepas dari seberapa parahnya media menggambarkan kondisi pandemi saat ini, entah dengan krisis ekonomi yang menyertainya maupun dengan varian virus yang semakin mematikan, ada alasan untuk optimisme. Jika kita perhatikan, baru pada pandemi kali inilah dunia mampu bersinergi lewat riset-riset bersama. Hasilnya, memasuki tahun kedua pandemi, vaksinasi sudah dapat dijalankan dan membuat sebagian negara mampu hidup berdampingan dengan COVID-19 sebagai endemi alih-alih pandemi.