Kegegabahan ini tidak berhenti sampai di situ. Memasuki tahun kedua pandemi di Indonesia, dengan semakin melimpahnya informasi mengenai COVID-19, muncul kegegabahan lain dalam bentuk "Infodemic"Â yang oleh WHO didefinisikan sebagai kondisi di mana kita dibanjiri oleh informasi keliru yang kemudian menyebabkan kita mengambil langkah yang keliru pula atas dasar keyakinan yang tinggi terhadap kebenaran informasi tersebut.
Contoh dari fenomena ini dapat kita temukan di banyak tempat hari-hari ini. Ambil contoh ludesnya susu kaleng dengan merk tertentu beberapa waktu lalu yang disebabkan oleh anggapan masyarakat mengenai keampuhan susu tersebut dalam menangkal COVID-19. Ada juga contoh lain, dan ini terjadi di lingkungan sekitar penulis, di mana segelintir orang yang tidak memiliki latar belakang kepakaran medis menganjurkan ragam jenis obat, vitamin, dan metode alternatif untuk melawan COVID-19 yang bukan hanya ngawur, melainkan juga berbahaya bagi kesehatan si pendengarnya.
Infodemic juga menyerang para pemangku kepentingan ekonomi dan politik. Derasnya arus informasi tidak dibarengi dengan waktu yang memadai untuk mempertimbangkan semuanya. Tidak heran bila kebijakan penanganan COVID-19 rawan berubah dan tidak konsisten dalam pelaksanaannya (misalnya pelarangan mudik yang kemudian dibarengi dengan kasus WNA masuk ke Indonesia pada waktu yang sama, sesuatu yang jelas memicu kecemburuan sosial dan pertanyaan di benak masyarakat mengenai keseriusan pemerintah dalam menangani COVID-19).Â
Serangkaian tindakan gegabah ini menciptakan situasi di mana kerap kali kita melakukan intervensi yang tidak perlu terhadap hal-hal yang sebetulnya diuntungkan dari keteracakan dan kejutan Black Swan semacam ini.Â
Coba dipikir-pikir, pernahkah kita selama pandemi ini, dalam situasi serba panik dan penuh kebingungan, melakukan tindakan yang justru merusak hubungan sosial seperti misalnya menutup portal kampung atau perumahan tanpa izin dan tanpa sepengetahuan warga lain demi mencegah penularan virus?Â
Atau pernahkah kita, di tengah ketidakpercayaan dengan tenaga medis akibat teori konspirasi yang kita baca atau tonton di internet, menolak memberikan pertolongan medis kepada sanak famili dan justru menyembunyikan informasi mengenai keluarga yang telah tertular sampai akhirnya satu rumah ikut tertular?
Dua hal ini, dan masih banyak intervensi konyol lainnya, justru menyebabkan situasi yang tadinya dapat terkendali menjadi di luar kendali. Di sisi lain, ketidaktahuan serta kekeliruan dalam menginterpretasikan situasi turut membuat kita menciptakan ilusi di dalam kepala mengenai kondisi dunia sekitar. Sehingga pada akhirnya, terjadi feedback loop di mana kedua hal ini saling memperkuat satu sama lain sebagaimana "lingkaran setan".
Dari sini kita dapat melihat bahwa untuk menanggulangi dampak disruptif yang dibawa oleh pandemi COVID-19, tidak cukup bagi kita untuk membekali diri dengan informasi yang melimpah, melainkan juga dengan kapasitas untuk mengelola informasi yang masuk menjadi dasar tindakan yang tepat.
Untuk hal kedua tersebut, kita perlu terlebih dahulu memahami hal-hal apa yang sebetulnya perlu untuk dilindungi dari keteracakan dan hal-hal apa yang sebetulnya perlu dibiarkan untuk menghadapi keteracakan. Hal pertama adalah apa yang disebut oleh Nassim Taleb sebagai "Fragile"Â dan yang kedua sebagai "Antifragile".
Untuk memahami dikotomi ini,diperlukan contoh yang ekstrem. Sesuatu yang fragile sederhananya dapat diibaratkan sebagai ponsel masa kini yang ketika dibanting akan langsung pecah dan mati total. Dengan kata lain, gangguan dari luar memberikan dampak negatif bagi hal yang fragile.