Akan tetapi, lagi-lagi klaim ini dapat diperdebatkan atas dasar bahwa sistem Wagonways masih tetap menggunakan bantalan rel kayu yang mudah rusak dan berubah-ubah bentuknya sehingga esensinya sebagai kereta api kurang terdefinisikan dengan ketat. Atas dasar keberatan itu, apabila definisi sistem perkeretaapian mengharuskan batangan rel logam, maka era pasca diperkenalkannya mesin uap pada 1750 dapat dikatakan sebagai era pertama diperkenalkannya kereta.Â
Adalah sejak 1760, di mana perusahaan bernama Coalbrookdale mulai memproduksi batangan besi untuk menggantikan batangan kayu pada rel. Serangkaian penyempurnaan menghasilkan batangan baja yang dapat dengan murah dan mudah diproduksi melalui Proses Bessemer pada tahun 1860, yang kemudian membuat batangan rel dapat lebih mampu menopang lokomotif yang semakin berat (Vaughan, 1997) (Grbler, 1990).
Sampai sejauh ini, kendati relnya sudah mulai beralih menjadi berbahan dasar logam, beberapa tahun pertama implementasi rel logam ini belum diikuti dengan penggunaan lokomotif bertenaga mesin. Menindaklanjuti penemuan James Watt di bidang mesin uap sejak 1769 serta eksperimen Richard Trevithick pada 1804 terhadap kemungkinan terciptanya lokomotif tenaga uap, Matthew Murray lantas memperkenalkan Salamanca, lokomotif uap pertama yang dapat beroperasi secara komersil, pada 1812. Temuan inilah yang banyak disepakati sebagai kereta api pertama di dunia karena sudah mengintegrasikan batangan rel baja dengan lokomotif bertenaga mesin (Gordon, 1910).
Tak lama selang gebrakan mekanisasi ini, lompatan besar kembali dibuat oleh Robert Davidson dari Skotlandia pada 1837 dengan memperkenalkan lokomotif bertenaga listrik. Dikatakan lompatan besar karena sumber tenaga bagi lokomotif sudah dapat disediakan oleh baterai, jauh sebelum kendaraan listrik mulai populer pada abad ke-21.Â
Sayangnya pengembangan lokomotif tenaga listrik ini terhambat oleh rintingan teknologi dari baterai itu sendiri dan juga protes dari pekerja perkeretaapian yang melihat temuan tersebut sebagai ancaman pekerjaan mereka. Â Gagasan Davidson diteruskan oleh Werner von Siemens pada 1879 di Berlin, Jerman melalui trem tenaga listriknya.Â
Jalur trem dilengkapi kabel yang menggantung di atas sebagai sumber energinya dan hingga kini menjadi inspirasi bagi sistem perkeretaapian di beberapa negara, termasuk Indonesia. Dari sejak saat itu, teknologi perkeretaapian terus berkembang, misalnya dengan dioperasikannya sistem pengereman regeneratif pada 1896 yang membuat kereta api mampu melalui medan terjal (Day & McNeil, 1998).
Selanjutnya pada tahun 1906, Rudolf Diesel, Adolf Klose, beserta tim mereka memperkenalkan lokomotif tenaga diesel dengan operasionalisasi pertamanya pada 1912. Hermann Lemp pada 1914 kemudian menyempurnakan model ini dengan memperkenalkan tuas tunggal untuk mengendalikan mesin dan generator pada lokomotif diesel. Teknologi ini kemudian dibawa oleh Canadian National Railways pada 1929, menjadikan perusahaan ini sebagai yang pertama menggunakan lokomotif diesel di Benua Amerika (Pinkepank, 1973 ).
Kendati telah cukup maju, pengembangan selanjutnya dari kereta api baru terjadi pada 1964 dengan diperkenalkannya Shinkansen di Jepang sebagai kereta cepat. Teknologi kereta ini merupakan sumbangsih dari banyak ilmuwan dan teknisi dari negara-negara seperti Jepang, Jerman, Inggris, Belgia, dan masih banyak lagi.Â