Mohon tunggu...
Satya Anggara
Satya Anggara Mohon Tunggu... Lainnya - Academic Researcher and Investor

Menyajikan tulisan seputar dunia investasi, bisnis, sosial, politik, humaniora, dan filsafat. Untuk korespondensi lebih lanjut, silahkan hubungi melalui kontak yang tertera di sini.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Mundur Selangkah, Maju Dua Langkah: Mengapa Upah Minimum Perlu Dihapus

30 Desember 2020   09:00 Diperbarui: 30 Desember 2020   09:03 459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Demonstrasi Menuntut Kenaikan UMK | Sumber Gambar: https://katadata.co.id/

Yang ingin penulis tekankan pada bagian ini, singkatnya, adalah bahwa upah minimum secara tidak langsung menghalangi angkatan kerja muda dalam mencari pengalaman sembari mulai mencari uang sejak dini. Hal ini utamanya terlihat pada angkatan kerja yang tingkat pendidikannya rendah atau bahkan tidak berpendidikan formal sama sekali.

Padahal, untuk dapat berhasil dalam berkarir, mereka butuh pengalaman, keterampilan, sekaligus kesempatan untuk membuktikan diri dalam pekerjaan yang fair dalam hal memberikan beban kerja dan imbalan. Perasaan dan peluang itu dibutuhkan, namun sayangnya upah minimum mencegah itu terjadi.

Oh, sebelum ada yang menyanggah dengan menyatakan bahwa masalah ini dapat diselesaikan dengan intervensi pemerintah lewat pendidikan gratis dan sebagainya, jangan lupa soal dampak intervensi tersebut yang sudah penulis jelaskan di atas. Dan lagi, penulis tidak percaya bahwa semua orang harus mengenyam pendidikan setinggi-tingginya.

Ini bukan berarti penulis ingin membatasi kesempatan dan hak mengenyam pendidikan. Hanya saja, setiap orang memiliki prioritasnya masing-masing. Ada yang memang berkeinginan menjadi akademisi sehingga wajar apabila ingin sekolah setinggi-tingginya.

Namun ada juga yang ingin dan perlu bekerja karena hal tersebut merupakan panggilan jiwanya. Apakah kemudian semua harus dipukul rata dengan subsidi silang dan intervensi pemerintah pada setiap sendi kehidupan?

Pada akhirnya, kemajuan ekonomi, yang pada gilirannya membawa kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, merupakan hasil dari hubungan yang tidak terpisahkan dari pekerja dan pemilik usaha (pemberi kerja). Untuk dapat memastikan bahwa hubungan ini produktif dan bersifat mutualis, terkadang kita harus belajar untuk membiarkan semua mengalir mengikuti mekanisme pasar.

Betul, ekonomi mungkin akan mengalami kemunduran atau bahkan krisis untuk beberapa lama. Namun dengan demikian pula kita dapat merapihkan kembali apa yang keliru. Yang seharusnya kita usahakan adalah “equality of opportunity”, bukan “equality of outcome”. Melalui langkah mundur yang terkandung dalam krisis ekonomi kita belajar menata kembali relasi ekonomi menjadi hubungan yang saling menguntungkan dan tanpa keterpaksaan.

Tugas negara pada akhirnya adalah untuk menjaga agar “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” dapat terlaksana, tidak melalui “merampok yang kaya” dan “memberi kepada yang miskin”, sebab tanpa si “kaya” inovasi yang memudahkan hidup akan sulit muncul akibat minimnya insentif.

Tidak juga keadilan tersebut terwujud dengan “menindas si miskin” dan “memanjakan si kaya”, sebab jika demikian apa gunanya kita punya negara? Lagipula, struktur yang demikian tidak akan bertahan lama.

Kita harus juga menyadari bahwa pekerja dan pemberi kerja pada hakikatnya setara. Satu sama lain saling melakukan pertukaran dengan cara memberi apa yang dapat diberi dan memperoleh apa yang sepantasnya diperoleh setelah memberi yang terbaik.

Apabila ada yang merasa hidupnya tidak bahagia karena berada pada salah satu kutub, well selalu ada jalan untuk berpindah kutub. Tapi ingat, jangan buru-buru menyalahkan keadaan atau orang lain, karena siapa yang berusaha dengan sungguh-sungguh pasti akan memperoleh hasil yang setimpal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun