Selain itu, jika pembicaraannya kemudian melebar hingga melibatkan pihak lain selain pekerja dan pemberi kerja, keberadaan upah minimum juga membantu negara dalam mengurangi subsidi (yang mana uangnya berasal dari pajak yang dibayarkan masyarakat lain) yang biasanya muncul untuk menambal kekurangan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan yang berpotensi muncul dalam lingkungan kerja tanpa upah minimum. Upah minimum juga bekerja sebagai stumulus agar mereka yang masih menganggur segera bekerja.
Bahkan, jika diskusinya kemudian dilebarkan menuju dimensi sosio-humaniora, keberadaan upah minimum juga berkontribusi dalam memperbaiki ketidakadilan sosial yang berakar dari ketimpangan rasial dan gender. Hal ini tentu sejalan dengan cita-cita sebuah negara demokratis dan humanis seperti Indonesia. Generasi muda juga akan termotivasi untuk mengenyam pendidikan agar terserap pasar tenaga kerja.
Setidaknya… ini yang diharapkan akan terjadi melalui keberadaan upah minimum.
Akan tetapi, sebagaimana judul artikel ini telah memberitahu para pembaca di awal, penulis justru hendak mengargumentasikan hal sebaliknya, yakni mengapa upah minimum, bukan hanya tidak boleh naik lagi, melainkan juga seharusnya dihapuskan.
Sebelum menjelaskan posisi tersebut, sedikit disclaimer dibutuhkan di sini. Penulis bukanlah seorang pemilik bisnis besar yang biasanya digambarkan sebagai musuh bersama para pekerja yang menuntut kenaikan upah minimum. Sebaliknya, penulis saat ini hanyalah seorang pekerja lepas yang menyambung hidup dari bulan ke bulan dengan penuh ketidakpastian pemasukan. Akan tetapi, justru karena posisi inilah penulis merasa semakin yakin bahwa upah minimum seharusnya tidak ada. Baiklah, mari mulai…
Ekonomi tumbuh dan berkembang, awal-awalnya, dari kesadaran segelintir orang mengenai pentingnya menyisihkan sebagian modal yang mereka miliki untuk kemudian hari diinvestasikan dalam proyek-proyek kewirausahaan yang memiliki kebergunaan di tengah masyarakat.
Tahap awal ini juga dipelopori oleh munculnya kesadaran dalam benak segelintir ini bahwa di dalam masyarakat selalu ada kebutuhan dan keinginan yang menunggu untuk dipuaskan menggunakan sumber daya yang terbatas jumlahnya akibat produktivitas yang rendah mula-mula.
Dengan berkembangnya proyek-proyek kewirausahaan ini, cepat atau lambat tenaga kerja akan dibutuhkan, apalagi jika sang pemilik proyek (pemilik usaha) memiliki motif untuk menumbuhkan kekayaannya.
Kebutuhan akan tenaga kerja juga secara tidak langsung didorong oleh kebutuhan lainnya yang kadang tidak disadari oleh sang pemilik usaha, yakni kebutuhan untuk turut mensejahterakan masyarakat lain agar mereka mampu membeli produknya.
Itu mengapa, kebutuhan akan tenaga kerja pada akhirnya adalah suatu keniscayaan bahkan pada dunia yang semakin terotomasi seperti saat ini di mana, misalnya, pabrik-pabrik mulai menggantikan tenaga manusia dengan mesin. (Pengecualian ada jika kita dapat mencapai kondisi di mana semua orang adalah pemilik usaha. Pun demikian, peluangnya sangat kecil hampir-hampir mustahil.)
Perhatikan kata kunci yang barusan muncul, “kebutuhan akan tenaga kerja”. Apabila keberadaan tenaga kerja adalah suatu kebutuhan, maka ia tentu akan ditemani oleh suplai tenaga kerja. Keduanya berhubungan secara dinamis, menghasilkan ekuilibrium permintaan-penawaran tenaga kerja. Dan, di mana ada ekuilibrium ini, di situ ada harga (upah) yang bergerak secara dinamis mengikuti pergeseran ekuilibrium tersebut.