Tahun 2020 tidak terasa hampir berakhir. Di tengah situasi pandemi dan kelesuan ekonomi yang membuat kebanyakan orang menjadi cemas tiap keluar rumah, menjadi seorang fresh graduate yang tengah bersiap menyongsong lembar baru kehidupan profesional tentu bukanlah suatu keberuntungan nasib.
Di saat tidak sedikit orang mengalami PHK, para fresh graduate justru sedang berancang-ancang memasuki dunia kerja dengan CV yang sebagian besar nampak ala kadarnya jika dibandingkan dengan mereka yang baru saja kena PHK.
Kondisi semakin buruk bagi kalangan fresh graduate yang tidak sempat mengantisipasi kondisi semacam ini dengan kebiasaan menabung sejak di bangku pendidikan, menyebabkan mereka terpaksa mengambil apapun pekerjaan yang tersedia, seringkali dengan upah minim, beban kerja berlebih, dan kepakaran yang tidak sesuai, untuk sekadar menyambung hidup.
Menengok ke sekitar, sebagian fresh graduate tentu memiliki nasib yang lebih beruntung atau lebih buntung dibanding sejawatnya dari latar belakang pendidikan yang sama. Ada yang langsung mendapat kerja setelah dua atau tiga kali percobaan melamar, ada pula yang senantiasa ditolak setelah ratusan kali melamar.
Kadang bagi mereka yang nasibnya lebih jelek seperti ini, rasa penasaran bercampur sedikit iri dan sedih sulit untuk dihindari. Dugaan-dugaan seperti kelebihan fisik, efek "orang dalam", dan privilege materi hanyalah segelintir pikiran yang kerap terlontar ketika menyaksikan mereka yang lebih beruntung.
Tentu ada sebagian orang lainnya yang memang sudah bertekad untuk tidak mencari kerja dan sebaliknya fokus membangun karir sebagai entrepreneur atau freelancer, akan tetapi tantangan ekonomi yang mereka hadapi saat ini masihlah mirip dengan para pencari kerja. Malahan, nasib para entrepreneur dan freelancer debutan ini kerap kali lebih buruk karena sulit bagi mereka untuk mengakumulasi modal dan membesarkan usaha di tengah lesunya bisnis sembari tetap menjaga dapur tetap ngebul, listrik tak menunggak, dan kuota internet tetap tersedia.
Tulisan ini merupakan hasil perenungan penulis selaku seorang fresh graduate, pencari kerja, sekaligus pemimpi yang mendambakan suatu hari bisa menjadi independen lewat kegiatan bisnis atau investasi. Karena perspektif akan menjadi lebih baik jika datang dari mereka yang bernasib serupa, tulisan ini diharapkan dapat memiliki nilai guna yang optimal bagi pembacanya, entah para pembaca sekalian adalah fresh graduate, peserta didik yang sudah mau lulus, atau kalangan profesional yang sedang mengalami kesulitan ekonomi.
Untuk memulai serangkaian tips yang hendak penulis bagikan, mari mulai dari penyadaran sederhana mengenai beberapa hal.
Merangkak dari bangku pendidikan menuju dunia profesi bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan. Menjadi pelajar membiasakan kita untuk senantiasa dituntun, disuapi, dan diarahkan tindak-tanduknya, entah melalui insentif berupa nilai dan penghargaan bergengsi, atau melalui hukuman seperti tinggal kelas hingga dropout. Masuknya kita ke dunia profesi seketika melenyapkan sebagian besar jaring pengaman dan koridor jalan itu karena tiba-tiba saja semua kita yang atur.
Kita bebas memilih, setidaknya untuk sekejap, apakah ingin bangun pagi atau siang, apakah ingin berolahraga atau bersantai di rumah, apakah ingin kerja bakti di lingkungan atau bermalam mingguan, dan sebagainya. Dan, sebagai jiwa yang tidak biasa dibebaskan begini, sebagian orang mungkin akan kalap dan bertindak semaunya.
Akan tetapi, hanya tinggal menunggu waktu sampai penyadaran itu datang. Ketika suatu hari kita harus bertanggung jawab menyediakan makanan di atas meja bagi diri sendiri maupun orang lain, ketika listrik perlu dibayar, maupun ketika kuota internet harus diisi ulang, maka ketika itulah kita tidak lagi bebas.
Pilihan harus dibuat, antara mencari kerja atau berwirausaha, antara menjadi pekerja kasar atau orang kantoran, dan seterusnya. Yang membatasi bukan lagi orang lain, melainkan nasib diri sendiri dan orang-orang yang menjadi tanggungan.
Ironisnya, tidak semua orang siap ketika waktunya tiba, termasuk dalam hal ini penulis ketika lulus dari bangku kuliah di awal tahun ini. Persis setelah kelulusan, penulis mulai aktif melamar di beberapa perusahaan sebagaimana fresh graduate pada umumnya. Mengikuti serangkaian tes tertulis dan wawancara, hingga akhirnya tinggal menunggu pengumuman hasil seleksi.
Semua berjalan mulus sampai akhirnya... pandemi datang berkunjung. Dunia usaha mendadak hibernasi, diikuti dengan dibatalkannya sekian banyak lowongan, termasuk yang dibuka oleh beberapa perusahaan tempat penulis melamar.
Peristiwa semacam ini adalah black swan yang tidak pernah kita sangka akan terjadi tahun ini pada saat semua nampak berjalan mulus di dua bulan pertama. Perubahan kondisi ini membuat lowongan kerja yang tersedia juga ikut berubah.
Posisi terkait peran di manajemen, misalnya, tidak lagi banyak dibutuhkan perusahaan. Sebaliknya, sehubungan dengan diterapkannya skenario normal baru, lebih banyak posisi di bidang TIK ditawarkan kepada para pelamar yang sebagian besar tidak memiliki latar pendidikan yang sesuai.
Ketidaksiapan penulis pribadi lebih dikarenakan perubahan iklim bisnis secara mendadak ketimbang dari dalam diri. Dan, sebagian dari pembaca yang bernasib serupa tentu berangkat dari alasan yang sama.
Pikiran bahwa kita tidak terserap lapangan kerja karena keadaan eksternal ketimbang internal merupakan sedikit penghibur lara, akan tetapi di saat bersamaan kita juga harus segera mengambil tindakan.
Penulis cukup beruntung karena masih tinggal dengan keluarga yang memiliki bisnis sendiri sehingga tidak perlu hidup berkekurangan. Di samping itu, pekerjaan sampingan sebagai pengajar les privat online yang telah dilakoni semenjak awal kuliah sangat terasa hasilnya disebabkan banyak murid lama yang masih meneruskan belajar karena mereka kesulitan belajar secara online di sekolah. Sehingga, kendati hidup bak pengangguran, uang masih keluar-masuk rekening sebagaimana karyawan bergaji UMR pada umumnya.
Tidak kalah beruntungnya lagi, penulis juga masih memiliki hubungan kerja yang baik dengan seorang dosen semasa kuliah yang dari dulu hingga sekarang kerap mempercayakan penulis dengan berbagai pekerjaan berbayar. Bahkan, karena pekerjaan inilah bulan lalu penulis dapat berkunjung ke Bali selama beberapa hari dalam rangka penelitian dan difasilitasi sepenuhnya oleh dana dari Kemenristek.
Akan tetapi, sejujurnya bukan kedua hal ini yang penulis rasa paling berdampak positif terhadap situasi hidup penulis saat ini. Faktor yang paling besar dari kemampuan penulis untuk bertahan hidup dan bahkan menumbuhkan tabungan justru berasal dari pengetahuan mengenai seluk-beluk keuangan itu sendiri. Sebab, tanpanya, seberapa pun besarnya penghasilan yang penulis rengkuh, pada akhirnya tidak ada yang tersisa untuk menjadi tabungan jaga-jaga di masa sulit.
Dan akhirnya melalui pengalaman yang sedemikian rupa ini, penulis dapat menarik beberapa pelajaran menarik yang sekarang akan gantian penulis bagikan kepada para pembaca. Di bawah ini akan penulis sajikan semua yang terpikirkan sepanjang proses pembuatan tulisan ini, namun apabila ada hal lain yang para pembaca anggap penting, mohon kesediaannya untuk turut membagikan di kolom komentar agar dapat dibaca oleh pembaca lainnya.
Pertama, kesiapan finansial dimulai dari persiapan di masa-masa sejahtera, bukan di saat krisis tiba. Dongeng mengenai semut yang menimbun makanan selama musim panas untuk mencukupi kebutuhannya dan bahkan juga tetangganya yang malas di musim dingin memiliki gemanya di sini.
Banyak yang berbicara mengenai perlunya berinvestasi selagi muda sembari mencari pekerjaan yang memiliki bayaran tinggi, sampai-sampai kebijaksanaan tua mengenai menabung terabaikan oleh sebagian orang.
Padahal jika mau dirunut, keberhasilan investasi atau pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang sehingga mampu menuai hasil yang memuaskan selalu didahului oleh kecukupan tabungan untuk membiayai proyek tersebut.
Tanpa tabungan yang cukup, apa bagusnya return investasi sepuluh kali lipat terhadap modal yang hanya sebesar Rp. 1,000? Dan tanpa tabungan yang cukup, bagaimana kita dapat menempuh pendidikan yang diperlukan untuk pekerjaan bergaji besar tanpa hidup berkekurangan?
Oleh karena itu, kita perlu membiasakan diri untuk menabung dan mulai berusaha sedini mungkin pada saat masa-masa sejahtera sebelum tiba masa sulit.
Kedua, pahami bahwa kesuksesan finansial merupakan persamaan dengan dua komponen di dalamnya, yakni seberapa banyak yang Anda hasilkan dan seberapa kecil yang Anda keluarkan. Di dalam buku "The Richest Man in Babylon" karya George S. Classon, salah satu pelajaran penting yang termuat di sana adalah pentingnya untuk memikirkan seberapa banyak yang dapat Anda sisihkan dari pemasukan untuk diri Anda sendiri.
Ketika berbicara mengenai hal tersebut, yang dimaksud bukanlah seberapa banyak yang dapat Anda foya-foyakan, melainkan seberapa banyak yang dapat ditabung dan diinvestasikan. Hari-hari ini, kita mungkin kerap mendengar betapa banyaknya orang yang berpenghasilan miliaran namun tetap terlilit utang dan tidak dapat berhenti bekerja keras tiap hari hanya demi menyambung hidup.
Kesuksesan finansial, yang sebelumnya penulis buka dengan pentingnya menabung, kemudian dipertegas pada poin kedua ini melalui pentingnya mengalokasikan pengeluaran dari apa yang Anda peroleh. Selalu pertanyakan setiap kali Anda memperoleh uang, pengeluaran apa saja yang dapat diminimalisir dan bagaimana uang ini dikelola agar di hari esok gantian uang ini yang bekerja untuk Anda.
Ketiga, sehubungan dengan meminimalisir pengeluaran, cobalah memanfaatkan sarana yang ada saat ini yang masih dapat diberikan orang lain. Hidup dengan orang tua setelah lulus dan telah bekerja mungkin terdengar buruk bagi para fresh graduate karena nampak tidak bertanggung jawab. Akan tetapi di sisi lain, hidup menumpang ini juga memungkinkan mereka untuk mengurangi pengeluaran yang sebaliknya akan muncul jika hidup sendiri.
Sebagai permulaan, para fresh graduate ini tidak perlu pusing memikirkan pengeluaran untuk listrik, makan, dan tempat tinggal. Gaji yang mungkin hanya sebatas UMR dapat disisakan setiap bulannya untuk ditabung dan diinvestasikan sehingga nantinya ketika sudah harus tinggal terpisah dari orang tua, mereka bukan hanya sudah memiliki gaji yang lebih besar seiring dengan promosi jenjang karir, melainkan juga memiliki bantalan keuangan yang tebal untuk mengantisipasi situasi buruk di masa depan atau pun untuk membeli rumah, kendaraan, dan sebagainya yang bagi sebagian generasi milenial adalah mimpi yang mungkin tidak akan pernah terwujud.
Tanpa melebih-lebihkan, menurut penulis periode sebagai fresh graduate merupakan faktor penting dalam menentukan kesuksesan finansial seseorang di masa depan. Ini bukan terkait dengan profesi apa yang dipilih, namun terkait bagaimana penghasilan pertamanya dikelola secara optimal.
Dengan cara memaksimalkan pemasukan dan meminimalisir pengeluaran, Anda sudah berpikir selayaknya para pebisnis dan investor kelas kakap dalam mengelola portfolio mereka. Warren Buffett, misalnya, selalu memikirkan bagaimana caranya meminimalisir pengeluaran agar dapat memaksimalkan jumlah pemasukan yang dapat diinvestasikan kembali ke portfolio saham atau bisnis yang dimilikinya.
Salah satu cara yang ia tempuh adalah dengan menempatkan kantor pusatnya di salah satu unit perkantoran di Omaha yang tidak begitu besar dengan jumlah staf yang sangat minim. Hal ini tentu berkebalikan dengan sebagian besar kalangan lain yang kerap mengusahakan agar kantor pusatnya terlihat mewah dan megah dengan ratusan hingga bahkan ribuan karyawan yang hilir-mudik di kantor sepanjang hari.
Keempat, seiring dengan timbul kesadaran untuk berhemat dan meningkatkan penghasilan, jangan lupa bahwa kita memiliki Keajaiban Dunia Ke-8 bernama compounding effect. Istilah ini di Indonesia lebih populer dengan sebutan "Bunga Majemuk" atau "Bunga Berbunga".
Sebagaimana telah disinggung pada poin sebelumnya, pentingnya untuk menginvestasikan atau menabung sebanyak mungkin pemasukan Anda bukan hanya ditujukan untuk menjadi bantalan keuangan atau sumber pemasukan di masa depan, melainkan juga untuk menumbuhkan kekayaan Anda secara eksponensial. Apa maksudnya?
Mari kita buat skenario sederhana. Katakanlah Anda memiliki uang sebesar Rp. 1 juta yang kemudian Anda pergunakan untuk membeli beras dari agen dan dijual eceran dengan margin laba 10%. Asumsikan pula setiap harinya beras ini terjual habis untuk kemudian seluruh uang hasil penjualannya Anda belikan beras lagi untuk dijual keesokannya.
Lakukan proses ini selama 30 hari, dan uang Anda sudah tumbuh menjadi Rp. 17 juta jika dihitung dengan bunga majemuk alih-alih hanya menjadi Rp. 4 juta jika dihitung dengan bunga tunggal! Silahkan dilanjutkan prosesnya hingga setahun, niscaya kalkulator HP Anda akan kehabisan digit sebelum Anda sampai di hari ke-365.
Intinya di sini, setelah pengeluaran berhasil ditekan, jangan lupa untuk selalu mencari peluang investasi atau proyek yang sekiranya mampu menghadirkan efek semacam ini dengan atau pun tanpa Anda bekerja sebab pada suatu titik di masa depan Anda tentu sudah tidak mampu lagi untuk bekerja lebih keras untuk dapat menutupi pengeluaran yang hampir pasti bertambah.
Kelima, terakhir namun tidak kalah penting, kembangkan lebih dari satu sumber pemasukan. Sejalan dengan tips keempat yang menekankan pentingnya investasi pada instrumen yang mampu memberikan compounding effect, lakukan diversifikasi terhadap sumber pemasukan Anda.
Apabila Anda saat ini bekerja di suatu perusahaan, misalnya, selalu pelihara pikiran bahwa suatu hari Anda harus siap dan dapat berhenti bekerja di sana. Dengan demikian, saat ini ketika Anda masih bekerja, Anda memiliki alasan untuk memulai proyek sampingan lainnya yang pelan-pelan dapat tumbuh dan menjadi sumber pemasukan utama di kemudian hari.
Penulis pernah menemukan seorang YouTuber asal Inggris yang memiliki hampir sepuluh channel saat ini dengan rata-rata subscriber sebesar satu juta. YouTuber tersebut mengulas beragam hal, mulai dari politik, ekonomi, biografi, hingga proyek konstruksi.
Saat ditanya mengapa ia memiliki banyak channel, ia menjawab bahwa sebagai YouTuber profesional, ia harus siap dengan kemungkinan bahwa setiap channel suatu hari akan ditinggalkan penontonnya. Apabila ia ingin bertahan hidup dari penghasilannya di YouTube, maka ia harus membuat channel-nya senantiasa menggurita dengan tetap berpusat pada image dirinya selaku host.
Dengan cara demikian, ia tidak hanya mengandalkan pemasukan dari iklan di YouTube, melainkan juga dari usaha lain seperti mencari sponsor, memasang link afiliasi, hingga berjualan merchandise. Tidak ketinggalan, ia juga berinvestasi di index fund menggunakan sebagian pemasukannya secara rutin sehingga pun suatu hari YouTube tidak lagi populer sebagai platform, YouTuber ini sudah mengamankan sumber pemasukan lain.
Akhir kata, inilah lima tips yang dapat penulis bagikan dengan berkaca pada pengalaman diri sendiri dan orang lain. Semoga para pembaca dapat memetik sesuatu dari tulisan ini yang dapat diterapkan pada kehidupan masing-masing. Semoga pula waktu-waktu sulit seperti sekarang akan segera berlalu dan kita dapat kembali pada masa-masa sejahtera seperti saat sebelum pandemi.
Referensi
Classon, G. S. (1926). The Richest Man in Babylon. Amerika Serikat: Penguin Books.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H